Rabu, 19 Desember 2012

Lepas



Aku hanya menunggu waktu menyita segala kenagan denganmu tanpa mengusik hati yang merajai sesal selalu. Kubiarkan detik-detik ini sepi, meninggalkan bayang separuh badan. Tak ada yang kurelakan untuk perih, setiap getirnya adalah perjuangan.
Menghadirkanmu terpupus sudah, dihapus jalan sepanjang pagi. Inilah yang kutuai ; dengan segala kesendirian, menepikan laut dan badai. Ini jalan tak beruang ; dengan segala isi kekosongan mata. Ini kali tak bertemali dan lepaslah cadik sunyi kenegeri antah barantah.

Tubuhku dikoyak angin, disapu ranting dan daun kering. Pucuk lama bertua jerami basah dan rontak tiada berdaya ; aku menyerah dititik ini saja tuan. Beban sarat lelah, yang kugenggam bukan barah



Tak ada yang bisa kupejamkan, hanya air kian jatuh tak berkemudi diberanda mata. Sudahkah kau merasakannya juga ?

Senin, 10 Desember 2012

Petik

Pernah aku ingin memetik mawar, sayang ia layu dan kering sebelum ku singgahi.

Pernah juga ingin ku petik bintang, malah senar gitar yang menuainya. "Ah, ini kali tak boleh memetik". Aku pikir memang harus begitu, lalu boleh aku melihatmu?


Seorang kecil bernama mungil, menangis tersedak ditinggal ibu, lalu setelah besar tersenyum memetik senja, apakah ibu juga pernah memetik?

Ya, aku yakin setiap kita pasti memetik benih yang dituai masing-masing. Apa yang kau petik?

Jika hari ini aku menanam bunga dan beberapa waktu kemudian kembang, boleh aku memetiknya?

"Tentu tidak", kata ibu. Kau hanya bersimpati, ia tumbuh dan mekar karena Pencipta, bukan karena tanganmu, ya ia seperti itu melalui penjagaanmu. Begitupun engkau anakku, aku mengandung, menimang dan mengecupmu karena aku simpati, tetapi memetik jerih payahmu bukanlah tujuanku. Ya selagi bunga itu kau rawat dan jaga, maka ia menghadiahkan kembangnya yang ranum, bukan untuk kau petik. Tetapi untuk dinikmati, dirawat dan dipelihara. Jika kau suka pada seorang gadis, jangan kau petik sarinya, karena cinta tidak dipetik, cinta itu simpati anakku. Simapti itu ikut merasakan seperti pagi yang menjaga isinya, seperti malam yang melelapkan isinya, seperti air yang menyejukkan dedaunan, seperti egkau yang merajut benang untuk sebuah keputusan.


Bu! Ada tidak kumbang yang tidak mengisap madu, sementara dahaga mereka adalah madu?

Tidak anakku, setiap kumbang tentu berteman dengan sarinya, itu kodrat namanya. Engkau bukan kumbang, aku bukan bunga, yang ada adalah tuai seperti padi. Sepeti aku menanam benih di sawah, ia tumbuh dan tunduk pada aturan alam sehingga wajib baginya menguning jika kita bersimpati padanya. Apa yang kau makan,sama seperti apa yang aku makan. Hanya terkadang kita tak sadar akan simpati. Makanya banyak diantara kita mengartikan cinta adalah memetik.

 

"Petik tidak sama dengan jemari, bukan gunting atau tanda diantara kata"

Maka simpati kata ibu adalah kasih sayang yang turut hadir bersama, seperti ayah dan ibu yang turut menyayangi sikecil dari benih pernikahan tentunya. Lalu bu! apakah aku juga seperti ibu?

Tentu anaku, itu namanya metamorfosis. Dimana kita yang harus menyesuaikan perubahan, bukan waktu yang harus kita tuntut untuk sesuai dengan kita. Akhlah, etika, moral dan amal adalah pengajaran. Seperti setiap ibu yang mengajarkan senyum pada anak-anaknya, meskipun ia menangis untuk memahaminya. Ibu mengerti, setipa ibu tahu anaknya. Maka setiap keindahan lahir dari seorang gadis; senyum, liriknya, jemarinya, bahkan sampai keriput menutupi lesung pipitnya anakku.

Dan yang meminta bukanlah kumbang, tetapi keadaan yang membuat kau menilainya baik atau buruk.

 

Kalau begitu, boleh aku bertanya lagi bu?

Silahkan anakku!

Jika kita bersimpati seperti kata ibu, apakah cinta itu bu?

Cinta, jika kau berkeinginan membuat perahu, apa akan yang kau lakukan anakku?

Tentu aku akan memilih kayu yang terbaik untuk dasarnya, ukiran dan warna pelagi di dinding-dindingnya, serta dayung yang kuat dan kokoh untuk berlayar. Itu akan aku wujudkan dengan waktu yang cukup lama tentunya bu.

Iya anakku, begitulah cinta, ketika kau jatuh cinta, jadilah seperti kau membuat perahu. Bukan semudah perahu kertas yang akan kau tenggelamkan. Semakin indah perahumu, semakin jauh pengembaraanmu dan semakin luas pula simpatimu terhadap genangan air di dunia ini.

 

Setiap kita dilahirkan dengan air mata, itu tandanya sejak lahir kita telah tenggelam dalam senyum disekitar kita; kami bahagia, terseyum saat kau menangis, dan aku akan tersenyum ketika akan meninggalkanmu, meskipun kau menangis. Petiklah nilai, usaha dan kegigihan bukan hasil atau pemberian. Petik itu seperti ketika kau belajar berjalan, kau jatuh tidak dua atau sepuluh, tetapi lebih. Lihat, sampai akhirnya kau tersenyum saat berlari, walaupun kau mengis ketika terjatuh. Sakit, perih atau luka itu bagian dari perjuangan, maka kau akan memetiknya saat kau mampu terbang dan memulai satu bahtera baru dalam taman dan senjamu.

 

Jika kau ingin memetik, jangan petik bunganya. Tetapi petiklah akarnya juga. Jika kau mencintainya, jangan cintai fisiknya semata. Tetapi cintailah ia apa adanya. Caranya; kau tutup matamu, sebut namanya, maka ia akan hadir, persis seperti aku merindukanmu. Kita sama anakku, hanya aku ibu dan kamu anak; aku bersimpati kepadamu seperti kau bersimpati pada gadismu, dunia ini tak mutlak segaris lurus, hanya kau akan mengetahuinya setelah kau ikut merasakan sebelum maupun sesudahnya.

Apakah kau sudah memetiknya?

Jumat, 07 Desember 2012

Ia

Aku mengizinkan engkau ada di dalam hatiku, tapi mengapa engkau tak mengizinkan aku ada dalam hatimu. Sebab apakah cinta tak menuai rasa pada jalan ini, sedang kita pernah menikmati rindu memburu keduanya. Jika ini kesalahan, siapa diantara kita yang menaburnya ?


Kau memburuku sampai ubun-ubun, hingga tak kau sisakan waktu untuk mengatakan kata-kata ini. Saat ini kita tak lagi menyapa satu sama lainnya, tanpa kabar atau pun pesan ringkas yang berkias hari dengan berbagi senyum. Cintakah ini ? Mana kala berjauhan dan mengasingkan rasa pada selubung sua. Atau kau tak merasakan sama sekali tentang ini ?


Aku harap pesan ini diterbangkan angin padamu, hingga pada suatu waktu kau tahu ini sudah terlambat. Menggamitkan cinta di ujung kepala sama halnya berhenti memikirkanmu, ya, aku berhasil melupakanmu, keberadaan dan kabar yang tak lagi kudengar. Kau puas ? Jika mata adalah jembatan kejujuran, maka aku ingin kau melihatku tanpa keduanya. Sebab, dua sampai tiga tanya akan terusung dan berbijak lagi untuk berirama.


Usutkan semuanya, anggap kita tak pernah saling mengenal. Aku tetap menjadi aku dan kau tetap menjadi asing bagiku. Begitu mudah untuk menyisakan berkas ini, bahkan membuangnya seketika adalah kemauanmu. Jika benar cinta itu buta, bisakah kau menatapku tanpa air mata ?


Tentu kau tahu dengan hal ini dan kau lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Aku tak menafikkan keputusanmu dengan tak mengindahkan bunga. Bunga yang sengaja tumbuh membiak di dasar halaman jiwa. Perih ? Tentu sama halnya dengan yang kau rasakan. Sakit ? Tidak, aku tersenyum. Dengan membalik-balikkan bilah kaca ini aku dapat melihatmu dengan darah.

 

Ini bukan birama yang dapat kau ketuk dengan mudah nadanya, ini hati yang lama kusisihkan hanya untukmu, bukan yang lain. Mengerti ? Kau anggap aku ini apa ? Seenaknya saja kau  jabatkan tangan untuk berpisah. Bukankah rasa itu sama-sama dinikmati ?, lalu mengapa pula harus berdusta ? salah ?


Ini terakhir kalinya pintu beserta celahnya kubuka untukmu, jika tidak, jangan kau sesalkan lagi puan. Sekiranya kau berbalik dan memintaku mengulangnya, itu takkan mengubah apapun ia !


Berbulan-bulan kau sia-siakan waktumu, berjam-jam kau buang pikiranmu hanya untuk menanya bagaimana kabarku. Lalu, setelah aku mengerti dan mengatakan cinta. Kau rubah rumus arimatikamu dengan menyebutkan jumlah tak sepadan. Mengapa harus aku ?


Biar semua tahu, walau langit dan bumi meolak ku, aku tetap mengatakan aku cinta kepadamu. Apakah aku harus mati terlebih dahulu, baru kau mengatakan kejujuranmu ? Tentu ini bukan telenovela atau picisan drama yang dapat kau ton-ton. Ini antara aku dan kamu ia.

 

Tak apalah, kelak jika kau terbangun jangan menangis kekasihku. sebab air tergadang mengerti, ia mengaliri persinggahanmu dan melinangkan sesal paling dangkal. Tutup usiamu saja dipangkuanku, selebihnya nikahlah dengan bintang atau jagad raya sekalian, agar kau tahu; sejauh manapun elang terbang, tetap aku ada dalam khasah ruangmu yang maha dahsyat.


Waktu yang mengizinkan semuanya, pertemuan, perbincangan sampai manakala cerita yang tak pantas dilukis awan. 


Terlambat ia, setelah pecah urat nadi kau jemput aku, jelas tak berguna lagi. Karena kau dan aku yakin, kita akan bersua pada cincin yang berbeda. Lain hal ketika meminta hujan ia.


Tetapi janjimu, penuhi takdirmu dan aku adalah tujuan itu. Kelak ia !





Persinggahan,

Jum'at, 7/12/12, coklat.




Selasa, 04 Desember 2012

Aku Ini Hitam Jalang

Tak ada jalan yang harus sama pada malam, yang menitipkan sendu paling senyap di ujung jemari. Kelak kau juga berkelakar tentang ini, bercerita ringan tentang jeruji dan terali tua tanpa penghuni.

Dosa bukan hal cantik diperbincangkan, melainkan tokoh arwana tanpa dubalang. Jangan tanyakan jembatan atau temali disini, adakalanya kau diam dan tak menyebut apapun sebelum daku bersemburat tajam. 

Sisa tanah di dadaku adalah rumah duka yang senantiasa senyum dekil dan cengigisan. Aubade panjang berhujan nestapa itu biasa, ia memisahkan jarak dalam persinggahan. 

Jalanku tak serasah bulan atau bintang, jalanku jalang. Setiap tanya itu adalah penghianatan dan jawaban adalah hina sedinanya. Beraikan aku pada angin, lalu burai-burai ini terburai begitu saja. 

Gamat, gamit mengucap tancap ulu hati, sebab setiap labuh merupakan asing di telinga; aku mendengar lolongan panjang, kumpulan putih yang sengaja menertawai sedang kabut bias tutup senja.

Jangan ulurkan tangan atau temali lagi, bagianku seribu tahun menyiksa lesap makna tentang dupa dan wewangian melati. Geram hawa terisak dada sedalam luka sembilu di hati.

Ya, kita pernah mengecupnya, tentang bentangan tangga setinggi pelangi. Setelah warna hilang rupa kita terpisah bayang. Baguslah tikam jantung sedemikian jengkal, agar sama tahu hati bukan keadaan dan dua paruh paru menuliskan darah di pergelangan.

Kau simpan saja dendammu, empedu di dasar lama pecah hitam juga. Jangan kau pandangi bulan terlalu lama; keindahannya hanya sajian belaka, salurnya bukan wanita, ia menyalur kesungguhan antara kau dan aku. Kau penuh bunga merta cahaya, sedang aku hampa tiada cahaya, "kau pikir aku mampu membakar lilin?" Benangpun takkan putus menilai pupil di retina ujung kembaraku.

Hambat bilabial, apiko alveolar, apikodental dan rasio pragmatikal asimilasi duka ini bertaruh badai, kau saja yang tidak tahu. Pasukan santri merajang rukiah kepala sampai jalan putih mengalahkan simpang antara kita.

Coret, ya. Setiap koma dari tanda sepi ini bertitik seru untuk tanda seru yang menepikan petik di ujung sakral ritualku. 


Tuntaskan lagi amor di ujung awan tipis yang bergelayut tentang manis rupa pada dari aku yang tak berpadan ria. Sintal itu kamu ! Maka tak kunikmati jemarimu. Kau tahu jarak ini bodoh, aku tahu tangan ini bebal, hanya menjabatmu butuh ribuan jelmaan siluman agar sampai.

"aku ini hitam jalang"

Rabu, 28 November 2012

Lupa Nama

Bukan keharusan mengingat bukan ?
melampaui ini sendiri melelahkan juga ternyata.

Ada beberapa yang terlindas dan terlupkan.
tapi dimana ?

Jumat, 02 November 2012

Terbang

Mengapa harus senja?
Ribuan penyair menuntut sinar itu, mereka menghujat kaki langit dengan wana jingga
merebut burai angin dan saling memikul kata
yang pada akhirnya terburai senyap saja

Sekian pula kita diam, memenjarakan gelisah dalam tak bertempat
melamakan selamnya dan tak bertemu jawab di bawah tanya.

Aku tak selamnya tegar untuk itu, pandang merubah arah
serta kau dingin beralas dendam
menyingkap cerai derai dosa berlabuh paruh nikamat setengah

Ayunkan buai-buai ini, lamatkan sinar yang memuai luka
ia benam dan memulai juga ceritanya

dia menulis syairnya sendiri
dengan genggaman rahasia tak terusik,
tapi aku mau dia singkap sejenak jendela
melihat taburan bunga yang menemani sedihnya 
                                
takkah ia merasa, aku menerbagkan butiran angin
menebar-nebar harap rumah berkaca !

Jika kau salin pesan ini dan tulis kembali
maka akan ada sayap sebelah patah kembali
jika kau lewatkan juga aku
maka kedua sayap itu hanya jatuh ditempatmu saja

Kita meninggalkan pesan
dari tatapan dibalik kacamata
menyiratkan daun kering dipucuk ranting tua
dan patahan lapuk ini usang memakan waktu

Aku terpaut jauh darimu
selang langkahmu telah dalam
bersama kebahagian hilang darimu
dan aku akan menggantikannya
akan kubawa kau terbang
menceritakan malam tanpa bantal dan guling
dan mendekapmu penuh haru !


                                                                                                                      

Selasa, 23 Oktober 2012

Alur Kita !

"Diam itu emas"

"Boleh aku menggambar wajahmu?
Hanya dibagian kiri saat kau tersenyum saja !"
Di kanvasku yang sedikit lusuh dan beberapa bagiannya cukup remuk. Aku kira dengan gambar itu akan memberikan makna di hatiku.
Jika tidak juga tak apa.

Kita sama-sama menyimpan emas, sampai pada waktu yang tak ditentukan. Sampai kita lupa jawaban apa yang seharusnya kita berikan. Baikah itu ? Aku rasa baik !
Sebab ada jawaban yang tak harus diminta !
Seperti saat kita bermimpi tentang kematian, jawaban itu pasti datang tanpa kita minta. Begitupun waktu menggambar wajahmu, bukan melukis !

Sejauh ini kita tak lagi tersenyum, jalan itu jauh berbeda; aku dengan aku, kamu dengan dirimu dan mereka beserta yang lainpun begitu. Kita sama-sama sadar dengan perbedaan, ketertarikan dan lumrah saja tak berterima. Tapi, apakah kau tak merasa letih memendam emas itu sendiri ?
Siapa tahu emas itu jauh lebih berharaga dengan kita bercerita tentang masa !
Kapan ? Suatu saat nanti, ketika aku lupa bagaimana caranya untuk mencintaimu !
Disaat itu mungkin juga aku lupa dengan diriku sendiri.

Baiklah, sekarang kita menitipkan pesan kepada angin !
Baitkan butiran-butiran hatimu, lalu rangkaikan alamat dan tempatnya, sebab angin ditempatku sudah tak dapat dipercaya lagi. Kelak jika kau tersesat karena arah, maka aku siap menjadi penuntun bagimu dan jika arah itu kau temukan, tinggalkanlah aku.





Sabtu, 20 Oktober 2012

Loro, Lirih Ono Nelongso

"Merah Putih 1"

Sekali lagi terpejam untuk kesekian waktu
mengabarkan hujan di dalam perahu
sebentar bertanya tiap mengadu
sekiranya bukan laku

Kulipatkan kelana malam
sembari menemati garis bulan
pada sedayung ngilu dupa
duka bertuan lupa !

Kita asyik diam
meneteslah lamun jauh bintang
pada cermin seribu retak tak bergambar

Adakah buah pengasingan dari rindu perantara ?
menyibak bekas lama diantara dada ?

Jawab bertanya, dijawab tak terperi
luka, duka, lupa maha sengsoro !

Nek atine dalem ora kepingit
lali sri, lali urang sliramu.

Kian kau berjawab, kian pula melekat
antara kelopak dan hidung kita bersembunyi
menutupi mulut tanda meronta

Babatkan saja peraduanku
sebak, semak menyumpal keinginan
sing loro ora dadi uwong, sing sugih dadi sedadine raden junjungan kulo sri

Terbitlah pagi, gulung malam secepatnya
tak rela harus bergiat menantang bulan
sebab aku merindu jua.

Tafsir menafsirkan
tartil menjelaskan
surah berganti nada
sedang dalam berjumpa ngungun
kita tanpa pemberi
dan tunduk terpaksa mati !

Tiap pesugihan liar meracau, sembur nafsu tuan
berjanji padamu negeri !
tanah tumpah dadi perkoso.

Tanah yang mulia
emak pertiwi
mbok kartini
teteh tjoet nja' dhien
soko bhineka tunggal ika awakmu
memajang gambar lusuh tak berulang tahun
tanpa nyala lilin dan kue bolu

Hari kita hilang seribu berganti
jalan tempuh nisan batu

kita sudah malas menjumput kertas
menulis sekadar air mata
nian sibuk merenda etalase
lupa tuan, lupa puan kera_jaan tikus !

saban bulan, saban hari mencuci darah
mengupas jamrut tiap pecingan
dan surga maimbau rajo
katuju di ambo, bedo basanak
kito indak saragi.

Yang kau jalan, paksa skenario rupiah
kakek ambil sendal pencuri raja
nenek ambil kakao maling negara
bapak berdasi sembunyi trilyun tak berterali

Perkara jualah denai, angkek kaji sia salah
kok batua pitih maimbau
nek ra eneng duek sungkem lorong ngatus piah
diembat timbangan juga rupanaya !

Jadilah anakku, jadilah bagian dari mereka
kata salam dari saku kiri dua ribu rupiah
sampaikan prasati ini kepanya !
"Dulu sapi kita gemuk makan rumput, sekarang mati dimakan aspal"
"Dulu sawah kita luas tak bertepi, yang sekarang hijau rumput seluasnya,
tanpa kambing dan sapi mereka asyik memukul telur sebesar bola pimpong"

Pakailah gelar kita nak, gelar rakyat sengsara, sebab sedari kecil hingga kini kita berpindah-pindah.
Sekiranya sampai laguku, berikan sila dari panca sila yang kelima.


#malam pengasingan, 20/10/12.

Elang Hitam: Kepingan Senja

Elang Hitam: Kepingan Senja: Sekiranya ada awan di balik hujan, maka izinkan aku menyibak tetesanya dan ku gantungkan pelangi di kedua bola matamu. Senja itu a...

Ketika Rindumu ada padaku

  

Aku menulis hati, ketika rindu bersemayam di dadaku

Aku merangkaimu, saat tiada lagi kata yang harus terucap

Sebenarnya, banyak lagi yang tak sempat sampai padamu

Sebab, aku kering berhadapan denganmu, aku gersang

Jika harus menuaimu sedini ini

 

Jika ada seribu arah untukku berlari, maka aku lebih memilih hanyut

Dalam arus yang kau mainkan

Terlebih jika kelak kau pintakan bulan !

Sebab aku terlalu rindu melihatmu lama

Aku terlalu lemah jika tak bersamamu.

 

Jika ada seratus jalan untuk menghinadar, aku lebih memilih buntu

Untuk jalamu

Terlebih jika tak ada lagi jalan untukku.

Sebab aku ingin sejalan hanya denganmu

Hanya dengan buah cinta yang telah kubuahi

Yang telah kau jaga karena aku cintamu

 

Bukan aku seorang romantis, atau pengeja kata ber­­-syair

Aku Cuma kelemahan yang kau lengkapi

Dan kau terlalu indah untukku perkasihkan

Sebab, kumbang sekalipun tak mampu hinggap

Karena ada kata aku di kelopakmu

Ada kata aku di seluruh tempatmu

Tempatmu bemandikan cahaya bulan

Aku rindu !

 

Jika ada sepuh hati untukku, maka aku lebih memilih tak memilih

Sebab hatiku untukmu bukannlah pilihan,

Hatimu untukku bukanlah berian tangan hampa

Hatiku, hatimu adalah jalan, adalah arah, adalah arus, adalah kelengkapan

Hanya bersamamu, karena kaulah rindumu

Kaulah aku yang kau rasakan

Ketika senyummu tak ada aku

Maka senyumlah aku spertimu

Seperti saat ini

Aku rindumu dari rasaku rasamulah aku begini




                                                                                    Sumatra *8, Minggu, 13 Nopember 2011

Kepingan Senja

Sekiranya ada awan di balik hujan, maka izinkan aku menyibak tetesanya dan ku gantungkan pelangi di kedua bola matamu.

Senja itu akan ku tunggu !

Bukan berharap !

Sekiranya langitku yang tak teduh, maka bintang dan bulan biarlah menepi.

Ya," aku harus menunggu pagi". Menceritakan tentang hari ini kepadanya, bahwa aku pernah menyusun hari untukmu.

Tidak, aku tidak sakit. Cuma membiarkan saja angin meniup sisa-sisa luka ini.

Seperti cita-cita di langit tinggi, kita harus menggapainya. Jatuh sekali atau dua itu biasa.

Tapi tidak harus kali ini, sebab perahu sudah menunggu untuk mengarungi bahtera selanjutnya.

Yang jadi tanya itu, apakah engkau bersedia mengaruhinya bersamaku ?

Aku butuh satu kepastian, tidak dua atau tiga. "saya rasa jawaban itu seharusnya tidak ! "


Sampai detik ini ! kita masih menyimpan rindu yang entah bertuju pada siapa ?

Kau tidak perlu peduli, aku bukan pengemis !

Kau tidak harus tahu, perih ini cukup sederhana kok !

Kau boleh menyimpan dendam itu, sayang aku tak butuh masalalumu. Yang penting esok atau lusa biarkan saja.

Biarkan aku yang merendanya "tangan dan jemariku masih sanggup mengisi ruas-ruas tanganmu".


Sekarang beginilah ; kau tutup saja senja di muara itu, berikan sedikit warna ungu, atau tetaskan merah di gelinangannya. Tapi jangan beri warna biru, sebab aku tak mau merindu lagi.

Tidak, saya bukan memaksa anda ikut bercerita, hanya melihat saja. Yah lihat saja saya di kejauhan, sebab di sana kami tak seperti kamu. Di sana tangan akan menyambutmu dan suguhan jujur siap menela'ah bisumu. Apakah kau mulai mengerti ?


Sepanjang kali lebar ini akan bertanya ke padamu, mereka akan meleburkan ini dan menjadikan kenangan di lautan sana. Ya, semua mereka hanya pura-pura tidak tahu saja, sebab mereka tahu aku akan marah jika ditertawakan. Kamu tahu ?


Bukan, ini tak ada sangkutan dengan kemarin, ini bingkisan biasa "isinya hanya tisyu, beberapa lembar kertas dan pena, sayang penghapus saya tak sediakan. di situ juga ada amplop putih" kesedian itu masih bersih tanpa coretan. Ya, sekarang silahkan tulis permintaan dan anggapan mu tentang apa saja disana, terserah itu apa, ya silahkan tulis saja ! kami tidak akan mengusik atau mendikte pemikiranmu. Jangan lupa tulis alamatmu, sebab pos sekarang lama sampainya, lagian alamat palsupun akan di antar.


Setelah itu selesai, berikan saja pada siapaun yang lewat nanti, mereka tahu jalan ke kantor pos terdekat. Kamu duduk manis saja disana, aku ?

aku tidak kemana-kemana, aku ada di alamat yang kau terakan diamplop tadi.

Nah, setelah lepas permintaan dan anggapanmu itu, kau ambil amplop merah muda yang ada di bawah taplak mejamu, iya itu !

Sebelum kau baca, ambillah tissyu itu. Dari aku ? Bukan, itu bukan aku yang menulis, hanya isinya saja ada hidupku. Jika kau merasa tak sanggup, kau boleh membacakannya pada pelayan cafe itu, tidak. Bosnya takkan marah !


Nah, sekarang kita sama-sama mengerti. Aku memaklumi senyummu, aku menyimpan tatapanmu. Tatapan itu masih utuh, liahat saja pagi nanti, apabila burung bernyanyi dan kupu-kupu sibuk di taman, berarti itulah tatapanmu untuku. Aku ?

Tak ada yang istimewa dariku, untukmu juga tak ada yang spesial dari jemariku. Aku sama seperti yang lain !

Kepunyaanku kan kau telah sita !

Iya, hari-hariku, pikiranku dan semua kamuflase ini.


Itu bukan kemauanku, bukan juga jalan pikiran ini. Itu adalah gerak hati kecilku, aku membiarkannya mekar dan tumbuh lama. Yang lain ?

Maaf, saya tak bersedia mengusik pintu itu, ruangan itu milikmu, tanpa kau minta ia sudah terisi begitu saja.


Ya, senja itu aku, aku yang melukisnya.


Tenang saja, aku tak menaruh apa-apa padamu. Hanya ingin kau melihatnya, setelah hujan reda lihatlah !

Sekiranya kaki langit memberi warna untukmu, berarti aku turut berhagia juga. Atau kau merasa jemu menantinya, aku juga pasti resah menurunkanya, sebab terkadang pelangi itu berat untuk di keluarkan.

Tersenyumlah sekali lagi, biarkan saja air di matamu larut dengan nyanyian senja ini. Iya, lepaskanlah berat pundakmu. Ini kali ku izinkan kau bersandar sekali saja ! Bukanya tak mau, saya yakin pangeranmu sebentar lagi turun setelah senja ini. Jadi berdiri dan bergegaslah segera. Aku janganlah kau pikirkan, itu biasa kok.


Seandainya tidurmu tak nyenyak, jangan salahkan aku ya !

Aku mampir karena sesuatu hal, aku juga yakin kau mengerti. Jawaban itu takkan kuminta kok. Simpan saja untuk cerita selanjutnya.

Kan sudah jelas, aku tak mau mereferensinya lagi. Kalau tak puas, balas saja amplop itu, lalu titipkan ke muara di dekatmu, mudah-mudahan lambat laun sampai juga padaku.


Kelak jika kita sudah merenda hidup, akan kukenalkan engkau pada anak dan istriku. Pastilah, akan kuceritakan tentang ini pada mereka. "Dulu ayah pernah berlayar di sebalik pulau sana nak, seorang putri yang teramat baik mengajarkan ayah tentang kesabaran melaut, ia tahu persis cuaca di langit ayah, tapi jangan bilang ibu ya ! Putri duyung itu pasti senang bertemu denganmu"


Kau jangan menangis, kita punya surat  masing-masing dari Tuhan. Jika ada namaku di suratmu, perjelaslah. Sebab di suratku namau terlalu banyak, sampai bosan kadang tinta itu menulisnya, sampai aku lupa bagaimana cara menulis namamu disini. Jika namaku hanya sekadarku bias senja, hapus sajalah !


Aku tak mau meminta, mengharap dan memujamu. Karena tak pantas rasanya menenggelamkan aku terlalu dalam. wajar saja ! Bidadari sepertimu barang tentulah bersanding dengan pangeran yang sempurna, bukan aku yang jauh dari penilain sebenarnya. Bukan merendah, tapi memang kenyataannya seorang aku pantasnya bersanding dengan manusia biasa saja.


Walau bagaimanapun itu, aku harus bangun dan tersenyum, sebab aku sadar telah lancang memasuki istanamu. Coba kau tak buka gerbang itu, barang pastilah jalan ke rumah aku tahu. Tapi mengapa coba ?

 

Aku patut bersyukur telah mengenalmu, berbincang dan bertukar cerita. Biarlah cerita ini terbungkus rapi di khasanah sederhana dadaku. Kalau kau berkesan itu wajar. Seorang pejantan lahir sebagai pemburu, dan sang betina adalah buruan. Betinapun sebenarnya lebih senang berburu, tapi sayang naluri itu ada padaku. Memburumu aku tak punya kekuatan lebih untuk mengatakan "aku sayang padamu", maka tak ada kata yang lebih pantas untuk menungkapkan kata itu selain dari tersenyum dan membalikkan cermin, agar kau tak melihata air juga menetes di pipiku.


Memang aku yang berdosa, aku terlalu jauh bermimpi sampai akhirnya bertemu denganmu. Bagaimana bisa melupakan, kau itu menyatu dan menyalin ragaku, hendak melupakan berarti merusak ragaku. Maka kubiarkanlah ia tumbuh dan berkembang. Bagiku itulah kekuatan sampai saat ini, sampai aku bisa menulis dan menyampaikannya pada semua jendela ini.


Aku telah terjaga, maka aku berani menyampaikan ini !









#Elang Hitam,

Untuk yang terkasih (M_Z)

kira-kira ; 15.00-17.00 wib, 15-10-12 / Tapsu ! (-14/01)