Kamis, 30 Januari 2014

Durasi Mawar Pembunuh Manusia Bedebah

Sudah ku kira ada lempengan logam ditangannya, berputar linglung diangka-angka biasa. Waktu lupa menyisipkan kapan kejadiannya. Maka inilah bagian bidadari itu, manusia bumi berjenis kelamin perempuan yang masih rajin bernafas saban waktu. Diperkirakan dia lari dari sorga karena diculik sepasang manusia  bumi disaat malam penganten. Kedua pasang manusia itu ayah dan ibunya, mereka telah merencanakan insiden ini. Entah berapa usianya jika menetap disurga, yang jelas dia lebih jelas mengenai hal ini. Saat penculikan berlangsung, kedua manusia itu diam-diam masuk kamar dan bertengkar hebat secara bisik-bisik. Kalau mereka tidak hati-hati, maka keduanya akan dideportasi langsung ke bumi. Ternyata di kamar itu keduanya telah membobol pintu sorga yang dikawal ketat malaikat ridwan. Kedua manusia itu memasuki jalur aman dari penghulu yang menyalami mereka dengan mahar yang akupun tidak pengen tahu, kurasa kamu juga seperti itu, karena memang seperti itu. Setelah keduanya sampai kebumi, berceceran keringat tanda letihnya jalanan surga yang masih becek dan berkerikil, sebab para ustad sudah jarang gotong royong dikamarnya, semenjak pindah hunian oleh ustad dari bali menuju pakistan.

Bidadari itu kini ada di bulan desember, pada hitungan gerimis tahun kesekian. Dia diberi nama mawar oleh manusia bumi asli bukan pitekantropus erektus. Sejauh ini manusia itu adalah sang bohemian yang dikutuk eros oleh tangan zeus di athena. Katanya dia menemukan sarang elang dari bayu sang pengembara. Bedebah.

Kata temanku dia itu ada tanda-tanda yang asing dari manusia seperti di bumi, sesekali terlihat sayap sepintas di belakang pundaknya ; berwarna putih seperti bulu-bulu angsa yang lembut dan gemulai, sinar-sinar disisnya memecah pandangan lalu lintas, sehingga saban hari ada saja korban kecelakaan bukan karena dia, kau tahu? Sama aku juga begitu, tidak tahu. Yang jelas bukan karena sayapnya begitu menarik untuk dibawa kembali kesurga. Dapat kami simpulkan, sayapnya didaur ulang oleh teman-temannya di langit yang sesekali muncul ketika pelangi di sore hari. Pertumbuhan sayapnya terhambat karena masa kunjungan belum diregistrasi oleh panitia pengawas pintu kubur. Konon katanya, bidadari itu akan kembali ke surga setelah keluar dari pintu kubur. Ini sejenis dongeng empuk rasa strowbery dan sedikit keju bercampur nanas yang jarang sekali ditemukan, ya begitulah, mau tidak mau anda memang harus setuju, karena bila tidak dia akan marah dan menelan kita bulat-bulat tanpa investigasi ataupun wawancar terlebih dahulu. Mungkin.

Mawar itu jellek sekali, mukanya merah, tangannya meleleh. Banyak orang ketakutan melihat rupanya. Sebab itu bukan mawar, tapi zombi kiriman dari israel. Mawar aslinya ada di lembah mandala wangi, disamping penjual sayur dekat pedagang yang bernama wak ujang. Nah, mawar itu tumbuh sekitar tujuh ribu kaki dari permukaan kejauhan yang dihitung suka-suka. Bidadari itu mirip hantu kalau dia mau, tapi tetap saja dia itu cantik dimata orang-orang, kami sebut itu orang yang suka gila dan gila memang suka dia. Entah siapa dia, yang jelas dia itu ada dimana-mana, dia mana? Dimana sajalah, yang jelas dia itu bukan aku, kamu, kita mereka dan kami keculai memang ditunjuk pakai jari telunjuk oleh seseorang yang tidak tahu namanya. Kau tahu namanya? Namanya mawar. Ah, bukan, dia itu siluman air, bukan, dia itu setan, bukan. Dia itu mahluk, bisa jadi. Mahluk istmewa karena hanya itu saja yang saat ini tepat mengatakan, jalur sitinjau lauik memang tidak pernah menurun kecuali berlawanan, maka menurunlah.

Hujan, kosan bocor, hujan, penampung ember, mangkok, penanak nasi. Ini bukan cara meresep mie gelas sesuai aturan dan takaran pabrik, bukan takaran suka-suka lagi, kecuali kalau digabung sampai penuh dan penuh. Dia mengatakan banyak hal di balik jasadnya.

Kini si manusia bedebah telah akan sedang menemui sedikit, banyak ataupun keseluruhan bangkai badannya sendiri yang belum mati saat diketahui dia sedang bercermin melihat, menatap, mengintip bagian wajahnya yang mulai memuda mendekati usia rahasia kematian, itu diketahui ketika dia masih sedang dan telah sering bernafas sesuai aturan gerak bangkai badannya.

Sampai pada suatu waktu entah kapan itu, kabar burungpun digantikan kabar ikan, kabarnya rasa ikan paus sedikit asin kalu dilebihkan garam. Percaya?
Yang jelas sebagian warga mesir kurang tahu keberadaan kancing baju kemejanya, bukanmarena perang, tapi karena memang kami juga tidak perlu tahu untuk ini.

Simanusia bedebah itu sudah lupa kapan kali pertama mengetik abjad untuknya. Karena operator GSM-nya tidak memberikan layanan kuota melimpah untuk pesan video di youtube8.

Bila Saatnya Tiba Arang menjadi Abu

Apa lagi yang kau sisakan diperapian ini? Lain dari epigram cerita lunyah.
Apa lagi yang hendak dipusarakan liang ini? Lain dari tulang yang menyisa.
Apa lagi yang akan mencatur di dada? Lain dari bongkah mirah.

Kita kehabisan kosa kata membingkai sara. Berlari-lari antara tembok bukit dan berteriak di lembah mandala wangi. "Masih adakah rasa?"
Kau tawar, hambar dan tidak nikmat. Kau mengacungkan diri pada lahar panas. Setiap ruang telah habis kumaki, sendiri.

Kita saling merampas kenangan-sampai pada waktunya aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk melupakan gambar sepertimu, begitu juga kamu. Pada satu hakikat kau menjadi arang dan aku adalah abunya. Sebelum aku menjadi kamu, sebelum kamu pergi aku telah sirna.
Apa jadinya jika ini terjadi pada mu setelah dibungkus kain.

Banyak hal yang tertunda kepala; tentang kemanusiaan dan manusia hakiki. Tentang Joker atau As kriting.

Selasa, 29 Oktober 2013

RENDEZVOUS ; Je t’aime, Je t’adore - hyakinthinos

Apa lagi yang tersisa dari kenangan, selain ingatan yang membabi buta. Penawaran waktu berunjung semu dan tiada kutemui bayang seperti ini.
Ada yang terslip pada bilah bibirmu, ada yang terbesit di dua bola matamu.
Apakah aku tengah kepayang?

Senin, 28 Oktober 2013

Malu Aku Berbudaya




Semasa kecil kami asyik bermain gundu dan layangan, dengan nyanyi senada di pematang sawah. Disore harinya dengan bola pelastik ditendang kegawang. Ini semua tertawa tanpa android dan game online.
Setelah kami dewasa, tak ada lagi mereka dipematang. Dilihat sikecil asyik bermain tab sebesar diktat di kaki tangan. Mereka merunduk membaca pesan tak ber-abjad. Kami kehilangan sendal pagi harinya dan malam tak berkain sarung. Ibu kehilangan selendang untuk memasak rendang, bapak lupa bertegur tetangga untuk jamuan sunatan sikecil.
Suatu itu tak lagi digenggam, masa membawa waktu dimana kami senang mandi di kali atau sungai kecil. Aku tidak bercerita tentang yang terenggut zaman, aku iba pada perahu kertas tak lagi  hanyut  di tepi bandar.
Harusnya belajar talempong atau rabab malah nada keras seperti petir dan badai. Ini yang dipatik gelombang, dibawa angin belas muara “jadilah tejo dan surti”
Suatu ketika seorang teman terkekeh melihat temannya menghembus saluang, bunyinya jadi loyo saat metalica digandrungi. Ini kali tuhan salah alamat dalam perbedaan untuk kesatuan, tapi tuhan siapa?
Malu aku berbudaya khatulistiwa saat dasi melekat di dahi para dewan.
Ketika kami rindu tembang lama, kami merunduk, karena pesta 17 asyik dengan pakaian setengah belum terjahit. Kadang mata kaki lupa bagaimana langkah pasambahan atau tarian cincin di kaki.
Sesuatu itu lebih memabukkan lagi, saat langit nusantara seok rubuh berduyun-duyun. Surau lupa bertempat nagari, mesjid bingung diantara adzan berikutnya, dan mereka asyik tidak mengisi perhelatan Tuhan.
Dunia ini membuat kami terpana, sesuatu itu jadi kebiasaan harkat; bila tak diiring tinggal maki caci kebaratan, bila diiring tentu nenek marah karena rumah gadang tak bisa dijadikan bar atau diskotik, barang tentu itu tidak elegan.
Mereka muda lupa budaya, sedang lambang bukan pemberian Tuhan
Mereka muda tak pandai menyulam tikar, kerana rumah milik disk jockey. Mungkin kami pernah ikut tapi pulang karena malu ingat rabab dilegalisir mereka.
Mereka muda hanyut modernisasi, para pejuang enggan bercerita.



Tasasak putiang ka hulu Di bawah kiliaran taji Aso mulo rundiang dahulu Tigo limbago nan tajali

Partamo sambah manyambah, kaduo baso jo basi, katigo siriah jo pinang. Sambah manyambah dalam adaik, tali batali undang-undang, tasabuik bamuluik manih, muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia, pandai batimbang baso-basi, pandai bamain ereng gendeng, di dalam adaik nan bapakai, banamo adaik sopan santun.
Malu aku berbudaya, nilai itu hanya deklamasi yang ditanggalkan, lalu kami pulang dan tidak menemukan tambo.
Sengaja kami tidak bercengkrama, musabab kebenaran lama bukan mumfakat, lantas mereka gagap berpantun sedang kami bukan pantun.
Mestinya ini transliterasi waktu, segala itu dibarukan, terganti kolaborasi karsa. Dan kita kehilangan nilai luhur.
Kami muda malu berbudaya, merundukkan topi di tepian pantai. Seraya genre aneh bising bertalu-talu bunyinya.
Sesuatu itu lenyap, sesuatu itu melekat dan sirna pada waktu yang tepat, seperti masa dimana pangulu batagak rumah.
Ada dinding yang tidak mesti terhalang, ada ruang yang tak harus berbenah. Ini seperti dilematisir kehidupan lebih dihiperbolakan. Boleh tidak dituliskan seperti apa bayang? Meski bukan keharusan, tetap disampaikan pada kelayakan semestinya. Seperti; cahaya digantungkan di atas guna menerangi sekelilingnya, alas dibentangkan ditelapak, mukena digaunkan aurat, jilbab menutup kebinasaan dan mata ditaruh diantara hidung beserta dahi. Lalu mengapa harus orang lain yang dapat menggambar kebiasaan kita?  Sedang perlengkapan indera dicipta untuk kesyukuran milik diri. Bak wajah tak harus bersolek dan cermin mendustakan bayang kiri berbalik kanan. Pernah tidak kau mempertanyakan budaya, dia hadir karena apa?
Budaya itu hanya kita yang tahu, budaya itu kamu yang menciptakan, sedang orang tidakakan tahu sumbernya. Samahalnya saat kau mengorbankan kebudayaanmu demi budaya orang lain yang menurutmu dapat membuatmu lebih bereksistensi, sedang mereka tidak mengerti kita merasakan kesia-siaan dan kau pun menyesalkan talempong terbuang percuma. Baiknya jujurlah pada tradisimu, katakan jika memang layak. Sebab apa pun itu bukanlah kemustahilan, jika kau berani membebaskan dirimu untuk lepas dari belenggu aturan maka kau akan merasakan apa yang membuatmu menjadi lebih  berbudaya. Mungkin bagi dunia kita bukanlah segalanya, tapi jadikanlah dirimu menjadi segalanya bagi sesama, bukan seseorang yang menjadikan itu dunia kita. Tapi, sungguh benar keadilan diataruh pada tempat yang bijak.
Hingga pada akhirnya kita lupa mana yang budaya dan mana yang budak budaya.





Karya : Elang, 06 Oktober 2013

Sabtu, 04 Mei 2013

Elang Hitam: Dilangit Tergambar Wajahmu

Elang Hitam: Dilangit Tergambar Wajahmu:                                                                                 sabtu, 10 oktober 2009-tetanda ; _aku        ...

Dilangit Tergambar Wajahmu



                                                 

                              sabtu, 10 oktober 2009-tetanda ; _aku


         Dari seribu rangkaian bintang di ufuk timur ku tutup mata, kupalingkan segundukan naskah cinta yang belum siap akhirnya, pada ratusan drama karmapala. Jauh sebelum pagi menenangkan, aku terpaku menjemput sederetan warna pada keresahanmu, dia nafas yang ditiupkan angin di sudut waktuku, memenjarakan aku sendiri di sujud terakhirku, menjelang pagi menutup cerita dimalam hari, ketika suara kukuruyuk ayam bising bersahutan, aku tengah rebah lama.
        
         Sebelum jauh diakhirkan hitam, aku menghitung senja setelah kepergian bulan disekian pengenanganmu. Kau tahu tidak ?
jutaan kalimatku buntu menyebut namamu, puluhan abzad di jantunku berhenti berdedak menulis kisahmu. Ah, aku takkan begitu saja pasrah menyusun stanza di bait kusam wajah cantikmu, aku mulai menyadari, jauh sebelum mereka tahu, Tuhan menggariskan pertemuan untuku padamu, sampai akhirnya cerita semusimku gugur hancur  tanpa nama dari sejuta malam nirmala.

         Tak seperti biasa, mata dari matamu menjelma nyata dihadapku, menya’irkan nyanyian merdu, dingin, menyejukkan ku lama sekali.
Andai saja dia tahu, hari-hariku terang mengingatnya, tak satu darahpun yang bergejolak mengenalmu, aku tenang, begitu hangat mendekap bayang-bayangmu. Sepertinya aku mulai kaku sekali, sampai huruf dari kalimat di hatiku bingung mengeja sambungan ceritaku. Jujur aku tak begitu mahir merajuk benang merah untukmu, hanya karna jantunku yang keras bersikuku menyebut namamu.
        
         Sekian jam lalu aku terhenti melafazkan sya’ir namamu, sebab aku tak tahu harus merangakai apa lagi untukmu, seketika bisu isyarat bibirku kelu. Biarlah diantara mereka linglung menafsiakan aku di pojok jendela tua tak bertrali besi itu.
       
          Tak lebih dari ratusan kali kufikirkan, aku ada ditiap hitungan nafasmu, hanya saja kau tak begitu menyadarinya, aku ada, selalu ada untukmu, bukan hanya sa’at ini, tapi selamanya, sampai pisah nanti. Aku tak menakutkan apapun kali ini’ karna yang kutahu aku mencitaimu utuh dari tujuh lapis diding di hatiku.
Jujur aku bukan siapa-siapa untukmu, hanya seutas nama yang bisa kau garis kapanpun kau mau.
         Ini bukan romeo, bukan para pencari cinta yang menikam jantungmu, aku hadir karna aku butuh luka di dada kering sejenak saja, dan tak lebih.

         Tak ada yang tahu kapan skenario dusta ini akan putus habis jadwalnya. Dan sampai sa’at ini saja senjapun begitu terik untuk kita nikmati bersama, Semestinya tak begitu sulit seperti ini jadinya, karna tak satupun cahaya yang mampu menghidupkanku.
Sesa’at kemudian kau datang mengisi hari-hari ku, siang, malam, sehari, seminggu, sebulan dan tak teras lebih aku bersamamu, bersama setengah hati yang terkubur lama pada kebenaran yang sesungguhnya,  aku telah jatuh lama sekali dalam tatapan pertama kujumpai drimu. Sampai akhirnya aku menyerah pada kalimat cinta yang membabi buta aku pada sekian hawa diluar sana.
Ma’af jika ini kejujuran, dan aku tak mengenal apa-apa selain tahajud aku sujud syukur, hatiku telah dibukakan olehmu.
         Mungkin ini terasa asing buatmu, mengenali frase dari dalam air mataku,tergambar rasa yang cukup sulit kau sentuh maknanya.
semua itu karna apa ?, hanya karna aku cukup lemah untuk kau tahlukkan.

         Hari-hari berikutnya, aku tengah kandas menatap tutur lembut tingkahmu, kesadaran kembali menyapaku, dan aku tahu, kau tak pernah tercipta untukku. Hanya langit ditempatku melukis indah gambarmu lama sekali, sangat lama, dan cukup sakit untuk kumengerti.

         Sepertinya, Aku tak begitu lama lagi menahan amarah dilautan lepas sana, Karna cukup bagiku putih diatas sana ditutup malam, Karna cemburu mu. Jauh sebelum dalam ini kisah, tak ada yang tahu kalau dikau kuraut tajam pada layangan yangkan ku terbangkan jauh, putus pada bianglala diatas sana. Entah berapa nama lagi yang mati untuk mu gadisku, tak seribu, tapi lebih dan satu diantaranya adalah ibu yang ku banggakan,telah lama dindaku !  itu berulang pada tidur ku, menyambung-nyambung tangis dari perihnya pertemuan untuk nya.

         Tak lama selepas bersamaku, kala senyum meyalin pada lilin-lilinku ; padam,hitam dan setegahnya kelam. Jujur ini kali air dimuara ku telah kering dan kaupun hilang di paruh baya ku kelak.
         Ku harap Tuhan mendengar ejaan bathinku yang tengah kelu menenti kehadiran seorang sinta yang tiada binal hatinya, berkecukupan mengecup hidup penuh makna, ku harap. (kuharap itu engkau)

         Setiap kali ku papah biakkan luka yang melahirkan dusta, agar kelak ada yang mengerti, kalau-kalau rasa ku telah mati sesaat menyentuh tangan dibawah tanganmu. Kali berikutnya kau telah jauh, melukiskan tempat di hatiku dan kupupus bayang-bayang mu. Sampai pada waktunya aku menjemput bintang pada satu harapan, kelak ku bangun surga pada mu.

Jumat, 03 Mei 2013

Apakah itu tandanya (Kebenaran Cinta)





S8, 12:22-23/05/2012

Aku memandang nyalang manusia lalu lalang, kulihat, tanpa sedikitpun segan, mereka menggamitkan jemari tangan. Kata cinta mengoar ke angkasa, menghanyutkan gemawan mega. Mengaburkan keindahan bintang gemintang, panji dan agungnya bentara. Namun disini, berdiri aku dalam keraguan
Tak mengerti dan terus bertanya :
Apakah setangkup cinta lebih manis ketimbang sececap cita?
Dan apakah bahagia terwujud harus dengan dimiliki?
Dan apakah seorang pangeran hanya dapat menjadi raja, pabila mempersandingkan permaisuri disisinya?
Dan tanya itu menggiringku masuk ke dalam labirin tua.
Lorong pekat penuh lembap yang dindingnya berkeropeng dusta, penuh tipu daya, tiap simpangnya meyesatkan pengelan.
Aku ikuti setitik cahaya, dan kulihat jawab di ujungnya
Aku bertanya lantang, “Wahai, apakah itu cinta?”
Kulihat sepasang muda-mudi bergelayutan mesra, sang gadis tertawa mengikik, sang pemuda menggeliat laknat
Sahutnya, cinta adalah hari ini
Yang tergantikan segera oleh hari esok
Dia adalah kesenangan yang berkelindan selalu, birahi yang terpuaskan, nikmat yang berseliweran
Aku tercenung, terus termenung
Jika cinta adalah pesta pora, lalu apa arti cerita Majnun
Cinta baginya adalah kisaran derita
Tetapi Majnun hanya tahu itu cinta, walau dia buta oh, betapa takdir cintanya berakhir nestapa
Aku berpaling dari mereka yang mencemooh nakal
Lalu aku pergi menuju ujung lain lorong teka-teki, ku ikuti suara-suara merdu, tawa dan musik syahdu
Walau gelap pekat, suara itu menuntunku pasti
Dan akhirnya kulihat panggung megah berdiri kokoh
Dipenuhi penyair dan pujangga sepanjang masa
Dadaku serasa bergolak, aku menyeruak dan berteriak, “Wahai apakah itu cinta?”
Seorang pujangga menoleh, berdiri dan menjawab panggilanku lalu mulai bersyair, cinta adalah roman tanpa batas inspirasi yang takkan mati;Api yang takkan padam
Yang geloranya membuatmu remuk redam
Tapi, bagai kecanduan, kau akan terus menyesapnya membuatmu merasa terbang menuju mentari yang menyala perkasa
Sekali lagi, keraguan menyelinap dan membisik
Mestikah begitu?, sebab kulihat nyala sangat redup menyambangi jalinan pernikahan yang suci
Gairah sejoli telah berakhir, tapi tidak memupus ikatannya
Tapi mereka masih menyebutnya CINTA
Walau madunya telah habis, sang kumbang masih hinggap di atas kembang
Aku melongos tak puas, dan bejalan tak tahu kemana
Kususri lorong berliku, begitu panjang jalanan, terjal undakan
Dan pada satu tangganya, kulihat seorang pengemis renta mengharap derma
Dia berkata, “Berikanlah milikmu yang terbaik, dan kusampaikan kebijaksanaanku”
Aku sebenarnya tak ingin percaya, tapi kakiku terlalu letih mencari jawab ku ulurkan sebonkah batu mirah sembari bertanya, “Wahai, apakah itu cinta?”
Si pengemis diam dalam takzim dan menjawab, Cinta adalah penghamba tanpa bertanya, ketaatan tanpa memerlukan jawaban kau memuja, dan menjadikan dirimu budak dengan sukarela
Kata-kata cinta adalah perintah yang tidak terbantah.
Aku terpekur dan tak henti berpikir
Jika cinta merupakaan penghambaan, lalu apa arti cinta ILAHI ?
Dia yang menurnkan hujan, dan lebih agung dari apapun juga
Dia yang memberikan rezeki kepada oarang paling durjana sekalipun
Dia yang mencintai makhluk-Nya dan tak memerlukan apapun dari makhluk-Nya
Aku merasa rugi atas permata yang terbuang percuma
Ini bukanlah kebijaksanaan; melainkan kedunguan!
Cinta si pengemis selamanya menjadikan dirinya pengemis yang mengiba, meminta dan mengharap sejumput kasih
Jika ini dinamakan cinta!
Aku muak atas pencarian ini, lalu memutuskan keluar,
Labirin tua tak lagi mengurungku.

Dan bau laut seakan memanggilku
Ini adalah kebebasan yang menarik para pemberani dan seperti cerita lama, aku berlayar menuju samudera berombak (sendiri)
Angin kencang membantu lajuku, dan kapalku menuju horison di tapal batas
Mencari dunia baru untuk ditahlukkan    
Di ujung dek aku berteriak penuh kegembiraan
Walau kegembiraan itu kadang dibayar oleh rasa hampa di tengah lautan
Oh, tahun-tahun berselang; musim-musim berganti datang-waktu-penuh-kenangan yang berkandung suka dan duka.

Namun, pada suatu hari yang mengejutkan
Badai datang menenggelamkan apa yang tersisa
Aku lihat puing-puing yang karam dan onggokan
Sementara aku hanyut ditemani tonkang yang terombang-ambing, entah mengantarkanku ke mana
Disuatu tempat, saat aku membuka mata, aku rasai pasir lembut yang harum baunya dan riak ombak bermain-main di sekujur tubuhku
Apakah ini tanah orang-oarang mati, ataukah aku masih hidup?
Oh, betapa hausnya aku, seteguk air akan mengobatiku
Dan, aku lihat sesosok datang mendekat
Sorot matanya menatapku lekat lalu menuangkan seteguk air pada bibirku yang kekeringan sangat
Pandanganku terasa kabur dan dunia terasa berputar begitu cepat
Aku berharap dia adalah malaikat tak bersayap yang memberikan jawab
Aku merasa sebentar lagi maut menjemput, jadi tak ada salahnya bertanya, toh rasa malu akan terbawa lalu.

Setelah sekian lama, sekali lagi aku bertanya,”Wahai, apakah itu cinta?”
Dia termangu, dan hanya tersenyum untuk menenangkan jiwaku yang sekarat, dia menatapku lembut dan kata-kata bagai menetes dari mulutnya
Kata-kata serasa merdu yang manisnya teringat selalu , Jawabnya : Cinta bukanlah benda untuk dimiliki, tetapi tindakan untuk diperjuangkan
Cinta adalah kebaikan tanpa imbalan
Pernahkah mentari bertanya padamu atas sinarnya yang terang
Dan pernahkah pepohonan meminta jawaban atas keteduhannya
Jika kau memberikan segelas air pada orang asing dan dia tidak behutang padamu apapun
Itulah cinta.

Bagaikan petani, aku menanam benihnya
Lalu orang lain memakan buahnya, menghilangkan rasa laparnya
Tetapi ingatlah, cinta adalah pilihan hatimu
Bukan keterpaksaan dari rasa takut
Sebab cinta tidak pernah membuatmu merasa kehilangan
Dia terus membuat hatimu merasa kaya
Namu, sungguh dunia telah tercerai berai, dan manusia menjadi tersesat oleh makna cinta
Tergelincir keserakahan, cinta menjadi memabukkan untuk memiliki, bukanya memberikan
Untuk menguasai, bukannya mengasihi
Jika cinta tinggallah nafsu diri belaka

Yang tersisa hanyalah kerusakan semata
Tidak peduli sesama; Semuanya mengagungkan diri jua
Orang menamakannya cinta; tapi itu hanyalah dusta
Hari itu, aku tahu
Bahwa perjalanku bukannya berakhir
Tetapi baru saja dimulai, lalu aku mengatup mata, mulai mendoa untuk satu pilihan kata di hati
 (**********) ! Amin.

S8, 23/05/2012-14;12
Elang Hitam.