Selasa, 29 Oktober 2013

RENDEZVOUS ; Je t’aime, Je t’adore - hyakinthinos

Apa lagi yang tersisa dari kenangan, selain ingatan yang membabi buta. Penawaran waktu berunjung semu dan tiada kutemui bayang seperti ini.
Ada yang terslip pada bilah bibirmu, ada yang terbesit di dua bola matamu.
Apakah aku tengah kepayang?

Senin, 28 Oktober 2013

Malu Aku Berbudaya




Semasa kecil kami asyik bermain gundu dan layangan, dengan nyanyi senada di pematang sawah. Disore harinya dengan bola pelastik ditendang kegawang. Ini semua tertawa tanpa android dan game online.
Setelah kami dewasa, tak ada lagi mereka dipematang. Dilihat sikecil asyik bermain tab sebesar diktat di kaki tangan. Mereka merunduk membaca pesan tak ber-abjad. Kami kehilangan sendal pagi harinya dan malam tak berkain sarung. Ibu kehilangan selendang untuk memasak rendang, bapak lupa bertegur tetangga untuk jamuan sunatan sikecil.
Suatu itu tak lagi digenggam, masa membawa waktu dimana kami senang mandi di kali atau sungai kecil. Aku tidak bercerita tentang yang terenggut zaman, aku iba pada perahu kertas tak lagi  hanyut  di tepi bandar.
Harusnya belajar talempong atau rabab malah nada keras seperti petir dan badai. Ini yang dipatik gelombang, dibawa angin belas muara “jadilah tejo dan surti”
Suatu ketika seorang teman terkekeh melihat temannya menghembus saluang, bunyinya jadi loyo saat metalica digandrungi. Ini kali tuhan salah alamat dalam perbedaan untuk kesatuan, tapi tuhan siapa?
Malu aku berbudaya khatulistiwa saat dasi melekat di dahi para dewan.
Ketika kami rindu tembang lama, kami merunduk, karena pesta 17 asyik dengan pakaian setengah belum terjahit. Kadang mata kaki lupa bagaimana langkah pasambahan atau tarian cincin di kaki.
Sesuatu itu lebih memabukkan lagi, saat langit nusantara seok rubuh berduyun-duyun. Surau lupa bertempat nagari, mesjid bingung diantara adzan berikutnya, dan mereka asyik tidak mengisi perhelatan Tuhan.
Dunia ini membuat kami terpana, sesuatu itu jadi kebiasaan harkat; bila tak diiring tinggal maki caci kebaratan, bila diiring tentu nenek marah karena rumah gadang tak bisa dijadikan bar atau diskotik, barang tentu itu tidak elegan.
Mereka muda lupa budaya, sedang lambang bukan pemberian Tuhan
Mereka muda tak pandai menyulam tikar, kerana rumah milik disk jockey. Mungkin kami pernah ikut tapi pulang karena malu ingat rabab dilegalisir mereka.
Mereka muda hanyut modernisasi, para pejuang enggan bercerita.



Tasasak putiang ka hulu Di bawah kiliaran taji Aso mulo rundiang dahulu Tigo limbago nan tajali

Partamo sambah manyambah, kaduo baso jo basi, katigo siriah jo pinang. Sambah manyambah dalam adaik, tali batali undang-undang, tasabuik bamuluik manih, muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia, pandai batimbang baso-basi, pandai bamain ereng gendeng, di dalam adaik nan bapakai, banamo adaik sopan santun.
Malu aku berbudaya, nilai itu hanya deklamasi yang ditanggalkan, lalu kami pulang dan tidak menemukan tambo.
Sengaja kami tidak bercengkrama, musabab kebenaran lama bukan mumfakat, lantas mereka gagap berpantun sedang kami bukan pantun.
Mestinya ini transliterasi waktu, segala itu dibarukan, terganti kolaborasi karsa. Dan kita kehilangan nilai luhur.
Kami muda malu berbudaya, merundukkan topi di tepian pantai. Seraya genre aneh bising bertalu-talu bunyinya.
Sesuatu itu lenyap, sesuatu itu melekat dan sirna pada waktu yang tepat, seperti masa dimana pangulu batagak rumah.
Ada dinding yang tidak mesti terhalang, ada ruang yang tak harus berbenah. Ini seperti dilematisir kehidupan lebih dihiperbolakan. Boleh tidak dituliskan seperti apa bayang? Meski bukan keharusan, tetap disampaikan pada kelayakan semestinya. Seperti; cahaya digantungkan di atas guna menerangi sekelilingnya, alas dibentangkan ditelapak, mukena digaunkan aurat, jilbab menutup kebinasaan dan mata ditaruh diantara hidung beserta dahi. Lalu mengapa harus orang lain yang dapat menggambar kebiasaan kita?  Sedang perlengkapan indera dicipta untuk kesyukuran milik diri. Bak wajah tak harus bersolek dan cermin mendustakan bayang kiri berbalik kanan. Pernah tidak kau mempertanyakan budaya, dia hadir karena apa?
Budaya itu hanya kita yang tahu, budaya itu kamu yang menciptakan, sedang orang tidakakan tahu sumbernya. Samahalnya saat kau mengorbankan kebudayaanmu demi budaya orang lain yang menurutmu dapat membuatmu lebih bereksistensi, sedang mereka tidak mengerti kita merasakan kesia-siaan dan kau pun menyesalkan talempong terbuang percuma. Baiknya jujurlah pada tradisimu, katakan jika memang layak. Sebab apa pun itu bukanlah kemustahilan, jika kau berani membebaskan dirimu untuk lepas dari belenggu aturan maka kau akan merasakan apa yang membuatmu menjadi lebih  berbudaya. Mungkin bagi dunia kita bukanlah segalanya, tapi jadikanlah dirimu menjadi segalanya bagi sesama, bukan seseorang yang menjadikan itu dunia kita. Tapi, sungguh benar keadilan diataruh pada tempat yang bijak.
Hingga pada akhirnya kita lupa mana yang budaya dan mana yang budak budaya.





Karya : Elang, 06 Oktober 2013