Apa lagi yang tersisa dari kenangan, selain ingatan yang membabi buta. Penawaran waktu berunjung semu dan tiada kutemui bayang seperti ini.
Ada yang terslip pada bilah bibirmu, ada yang terbesit di dua bola matamu.
Apakah aku tengah kepayang?
Kembara pada jingga sering bergelut rata, sedang bebas itu tak bertuju. Maka ia lebih memilih untuk setia pada langit, terbanglah sang kembara. Terbang bersama patahan nikmat yang tak setara langit dan bumi. Urai mata itu lemah, jatuhlah serendah kau sujud pada awan.
Selasa, 29 Oktober 2013
Senin, 28 Oktober 2013
Malu Aku Berbudaya
Semasa kecil kami asyik bermain gundu dan layangan, dengan nyanyi senada di pematang sawah. Disore harinya dengan bola pelastik ditendang kegawang. Ini semua tertawa tanpa android dan game online.
Setelah kami dewasa, tak ada lagi mereka dipematang. Dilihat sikecil asyik bermain tab sebesar diktat di kaki tangan. Mereka merunduk membaca pesan tak ber-abjad. Kami kehilangan sendal pagi harinya dan malam tak berkain sarung. Ibu kehilangan selendang untuk memasak rendang, bapak lupa bertegur tetangga untuk jamuan sunatan sikecil.
Suatu itu tak lagi digenggam, masa membawa waktu dimana kami senang mandi di kali atau sungai kecil. Aku tidak bercerita tentang yang terenggut zaman, aku iba pada perahu kertas tak lagi hanyut di tepi bandar.
Harusnya belajar talempong atau rabab malah nada keras seperti petir dan badai. Ini yang dipatik gelombang, dibawa angin belas muara “jadilah tejo dan surti”
Suatu ketika seorang teman terkekeh melihat temannya menghembus saluang, bunyinya jadi loyo saat metalica digandrungi. Ini kali tuhan salah alamat dalam perbedaan untuk kesatuan, tapi tuhan siapa?
Malu aku berbudaya khatulistiwa saat dasi melekat di dahi para dewan.
Ketika kami rindu tembang lama, kami merunduk, karena pesta 17 asyik dengan pakaian setengah belum terjahit. Kadang mata kaki lupa bagaimana langkah pasambahan atau tarian cincin di kaki.
Sesuatu itu lebih memabukkan lagi, saat langit nusantara seok rubuh berduyun-duyun. Surau lupa bertempat nagari, mesjid bingung diantara adzan berikutnya, dan mereka asyik tidak mengisi perhelatan Tuhan.
Dunia ini membuat kami terpana, sesuatu itu jadi kebiasaan harkat; bila tak diiring tinggal maki caci kebaratan, bila diiring tentu nenek marah karena rumah gadang tak bisa dijadikan bar atau diskotik, barang tentu itu tidak elegan.
Mereka muda lupa budaya, sedang lambang bukan pemberian Tuhan
Mereka muda tak pandai menyulam tikar, kerana rumah milik disk jockey. Mungkin kami pernah ikut tapi pulang karena malu ingat rabab dilegalisir mereka.
Mereka muda hanyut modernisasi, para pejuang enggan bercerita.
Tasasak putiang ka hulu Di bawah kiliaran taji Aso mulo rundiang dahulu Tigo limbago nan tajali
Partamo sambah manyambah, kaduo baso jo basi, katigo siriah jo pinang. Sambah manyambah dalam adaik, tali batali undang-undang, tasabuik bamuluik manih, muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia, pandai batimbang baso-basi, pandai bamain ereng gendeng, di dalam adaik nan bapakai, banamo adaik sopan santun.
Partamo sambah manyambah, kaduo baso jo basi, katigo siriah jo pinang. Sambah manyambah dalam adaik, tali batali undang-undang, tasabuik bamuluik manih, muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia, pandai batimbang baso-basi, pandai bamain ereng gendeng, di dalam adaik nan bapakai, banamo adaik sopan santun.
Malu aku berbudaya, nilai itu hanya deklamasi yang ditanggalkan, lalu kami pulang dan tidak menemukan tambo.
Sengaja kami tidak bercengkrama, musabab kebenaran lama bukan mumfakat, lantas mereka gagap berpantun sedang kami bukan pantun.
Mestinya ini transliterasi waktu, segala itu dibarukan, terganti kolaborasi karsa. Dan kita kehilangan nilai luhur.
Mestinya ini transliterasi waktu, segala itu dibarukan, terganti kolaborasi karsa. Dan kita kehilangan nilai luhur.
Kami muda malu berbudaya, merundukkan topi di tepian pantai. Seraya genre aneh bising bertalu-talu bunyinya.
Sesuatu itu lenyap, sesuatu itu melekat dan sirna pada waktu yang tepat, seperti masa dimana pangulu batagak rumah.
Ada dinding yang tidak mesti terhalang, ada ruang yang tak harus berbenah. Ini seperti dilematisir kehidupan lebih dihiperbolakan. Boleh tidak dituliskan seperti apa bayang? Meski bukan keharusan, tetap disampaikan pada kelayakan semestinya. Seperti; cahaya digantungkan di atas guna menerangi sekelilingnya, alas dibentangkan ditelapak, mukena digaunkan aurat, jilbab menutup kebinasaan dan mata ditaruh diantara hidung beserta dahi. Lalu mengapa harus orang lain yang dapat menggambar kebiasaan kita? Sedang perlengkapan indera dicipta untuk kesyukuran milik diri. Bak wajah tak harus bersolek dan cermin mendustakan bayang kiri berbalik kanan. Pernah tidak kau mempertanyakan budaya, dia hadir karena apa?
Budaya itu hanya kita yang tahu, budaya itu kamu yang menciptakan, sedang orang tidakakan tahu sumbernya. Samahalnya saat kau mengorbankan kebudayaanmu demi budaya orang lain yang menurutmu dapat membuatmu lebih bereksistensi, sedang mereka tidak mengerti kita merasakan kesia-siaan dan kau pun menyesalkan talempong terbuang percuma. Baiknya jujurlah pada tradisimu, katakan jika memang layak. Sebab apa pun itu bukanlah kemustahilan, jika kau berani membebaskan dirimu untuk lepas dari belenggu aturan maka kau akan merasakan apa yang membuatmu menjadi lebih berbudaya. Mungkin bagi dunia kita bukanlah segalanya, tapi jadikanlah dirimu menjadi segalanya bagi sesama, bukan seseorang yang menjadikan itu dunia kita. Tapi, sungguh benar keadilan diataruh pada tempat yang bijak.
Hingga pada akhirnya kita lupa mana yang budaya dan mana yang budak budaya.
Karya : Elang, 06 Oktober 2013
Sabtu, 04 Mei 2013
Elang Hitam: Dilangit Tergambar Wajahmu
Elang Hitam: Dilangit Tergambar Wajahmu: sabtu, 10 oktober 2009-tetanda ; _aku ...
Dilangit Tergambar Wajahmu
sabtu, 10 oktober 2009-tetanda ; _aku
Dari seribu rangkaian bintang
di ufuk timur ku tutup mata, kupalingkan segundukan naskah cinta yang belum
siap akhirnya, pada ratusan drama karmapala. Jauh sebelum pagi menenangkan, aku
terpaku menjemput sederetan warna pada keresahanmu, dia nafas yang ditiupkan angin
di sudut waktuku, memenjarakan aku sendiri di sujud terakhirku, menjelang pagi
menutup cerita dimalam hari, ketika suara kukuruyuk ayam bising bersahutan, aku
tengah rebah lama.
Sebelum jauh diakhirkan hitam, aku
menghitung senja setelah kepergian bulan disekian pengenanganmu. Kau tahu tidak
?
jutaan kalimatku buntu menyebut
namamu, puluhan abzad di jantunku berhenti berdedak menulis kisahmu. Ah, aku
takkan begitu saja pasrah menyusun stanza di bait kusam wajah cantikmu, aku
mulai menyadari, jauh sebelum mereka tahu, Tuhan menggariskan pertemuan untuku
padamu, sampai akhirnya cerita semusimku gugur hancur tanpa nama dari sejuta malam nirmala.
Tak seperti biasa, mata dari matamu
menjelma nyata dihadapku, menya’irkan nyanyian merdu, dingin, menyejukkan ku
lama sekali.
Andai saja dia tahu, hari-hariku
terang mengingatnya, tak satu darahpun yang bergejolak mengenalmu, aku tenang, begitu
hangat mendekap bayang-bayangmu. Sepertinya aku mulai kaku sekali, sampai huruf
dari kalimat di hatiku bingung mengeja sambungan ceritaku. Jujur aku tak begitu
mahir merajuk benang merah untukmu, hanya karna jantunku yang keras bersikuku
menyebut namamu.
Sekian jam lalu aku terhenti melafazkan
sya’ir namamu, sebab aku tak tahu harus merangakai apa lagi untukmu, seketika
bisu isyarat bibirku kelu. Biarlah diantara mereka linglung menafsiakan aku di
pojok jendela tua tak bertrali besi itu.
Tak lebih dari ratusan kali kufikirkan, aku
ada ditiap hitungan nafasmu, hanya saja kau tak begitu menyadarinya, aku ada,
selalu ada untukmu, bukan hanya sa’at ini, tapi selamanya, sampai pisah nanti.
Aku tak menakutkan apapun kali ini’ karna yang kutahu aku mencitaimu utuh dari
tujuh lapis diding di hatiku.
Jujur aku bukan siapa-siapa
untukmu, hanya seutas nama yang bisa kau garis kapanpun kau mau.
Ini bukan romeo, bukan para pencari
cinta yang menikam jantungmu, aku hadir karna aku butuh luka di dada kering
sejenak saja, dan tak lebih.
Tak ada yang tahu kapan skenario dusta
ini akan putus habis jadwalnya. Dan sampai sa’at ini saja senjapun begitu terik
untuk kita nikmati bersama, Semestinya tak begitu sulit seperti ini jadinya,
karna tak satupun cahaya yang mampu menghidupkanku.
Sesa’at kemudian kau datang
mengisi hari-hari ku, siang, malam, sehari, seminggu, sebulan dan tak teras
lebih aku bersamamu, bersama setengah hati yang terkubur lama pada kebenaran
yang sesungguhnya, aku telah jatuh lama
sekali dalam tatapan pertama kujumpai drimu. Sampai akhirnya aku menyerah pada kalimat
cinta yang membabi buta aku pada sekian hawa diluar sana.
Ma’af jika ini kejujuran, dan aku
tak mengenal apa-apa selain tahajud aku sujud syukur, hatiku telah dibukakan
olehmu.
Mungkin ini terasa asing buatmu,
mengenali frase dari dalam air mataku,tergambar rasa yang cukup sulit kau
sentuh maknanya.
semua itu karna apa ?, hanya
karna aku cukup lemah untuk kau tahlukkan.
Hari-hari berikutnya, aku tengah
kandas menatap tutur lembut tingkahmu, kesadaran kembali menyapaku, dan aku tahu,
kau tak pernah tercipta untukku. Hanya langit ditempatku melukis indah gambarmu
lama sekali, sangat lama, dan cukup sakit untuk kumengerti.
Sepertinya, Aku tak begitu lama lagi
menahan amarah dilautan lepas sana, Karna cukup bagiku putih diatas sana ditutup
malam, Karna cemburu mu. Jauh sebelum dalam ini kisah, tak ada yang tahu kalau
dikau kuraut tajam pada layangan yangkan ku terbangkan jauh, putus pada
bianglala diatas sana. Entah berapa nama lagi yang mati untuk mu gadisku, tak
seribu, tapi lebih dan satu diantaranya adalah ibu yang ku banggakan,telah lama
dindaku ! itu berulang pada tidur ku,
menyambung-nyambung tangis dari perihnya pertemuan untuk nya.
Tak lama selepas bersamaku, kala
senyum meyalin pada lilin-lilinku ; padam,hitam dan setegahnya kelam. Jujur ini
kali air dimuara ku telah kering dan kaupun hilang di paruh baya ku kelak.
Ku harap Tuhan mendengar ejaan
bathinku yang tengah kelu menenti kehadiran seorang sinta yang tiada binal
hatinya, berkecukupan mengecup hidup penuh makna, ku harap. (kuharap itu engkau)
Setiap kali ku papah biakkan luka yang
melahirkan dusta, agar kelak ada yang mengerti, kalau-kalau rasa ku telah mati
sesaat menyentuh tangan dibawah tanganmu. Kali berikutnya kau telah jauh, melukiskan
tempat di hatiku dan kupupus bayang-bayang mu. Sampai pada waktunya aku
menjemput bintang pada satu harapan, kelak ku bangun surga pada mu.
Jumat, 03 Mei 2013
Apakah itu tandanya (Kebenaran Cinta)
Aku
memandang nyalang manusia lalu lalang, kulihat, tanpa sedikitpun segan, mereka
menggamitkan jemari tangan. Kata cinta mengoar ke angkasa, menghanyutkan
gemawan mega. Mengaburkan keindahan bintang gemintang, panji dan agungnya
bentara. Namun disini, berdiri aku dalam keraguan
Tak
mengerti dan terus bertanya :
Apakah
setangkup cinta lebih manis ketimbang sececap cita?
Dan
apakah bahagia terwujud harus dengan dimiliki?
Dan
apakah seorang pangeran hanya dapat menjadi raja, pabila mempersandingkan
permaisuri disisinya?
Dan
tanya itu menggiringku masuk ke dalam labirin tua.
Lorong
pekat penuh lembap yang dindingnya berkeropeng dusta, penuh tipu daya, tiap
simpangnya meyesatkan pengelan.
Aku
ikuti setitik cahaya, dan kulihat jawab di ujungnya
Aku
bertanya lantang, “Wahai, apakah itu cinta?”
Kulihat
sepasang muda-mudi bergelayutan mesra, sang gadis tertawa mengikik, sang pemuda
menggeliat laknat
Sahutnya,
cinta adalah hari ini
Yang
tergantikan segera oleh hari esok
Dia
adalah kesenangan yang berkelindan selalu, birahi yang terpuaskan, nikmat yang
berseliweran
Aku
tercenung, terus termenung
Jika
cinta adalah pesta pora, lalu apa arti cerita Majnun
Cinta
baginya adalah kisaran derita
Tetapi
Majnun hanya tahu itu cinta, walau dia buta oh, betapa takdir cintanya berakhir
nestapa
Aku
berpaling dari mereka yang mencemooh nakal
Lalu
aku pergi menuju ujung lain lorong teka-teki, ku ikuti suara-suara merdu, tawa
dan musik syahdu
Walau
gelap pekat, suara itu menuntunku pasti
Dan
akhirnya kulihat panggung megah berdiri kokoh
Dipenuhi
penyair dan pujangga sepanjang masa
Dadaku
serasa bergolak, aku menyeruak dan berteriak, “Wahai apakah itu cinta?”
Seorang
pujangga menoleh, berdiri dan menjawab panggilanku lalu mulai bersyair, cinta
adalah roman tanpa batas inspirasi yang takkan mati;Api yang takkan padam
Yang
geloranya membuatmu remuk redam
Tapi,
bagai kecanduan, kau akan terus menyesapnya membuatmu merasa terbang menuju
mentari yang menyala perkasa
Sekali
lagi, keraguan menyelinap dan membisik
Mestikah
begitu?, sebab kulihat nyala sangat redup menyambangi jalinan pernikahan yang
suci
Gairah
sejoli telah berakhir, tapi tidak memupus ikatannya
Tapi
mereka masih menyebutnya CINTA
Walau
madunya telah habis, sang kumbang masih hinggap di atas kembang
Aku
melongos tak puas, dan bejalan tak tahu kemana
Kususri
lorong berliku, begitu panjang jalanan, terjal undakan
Dan
pada satu tangganya, kulihat seorang pengemis renta mengharap derma
Dia
berkata, “Berikanlah milikmu yang terbaik, dan kusampaikan kebijaksanaanku”
Aku
sebenarnya tak ingin percaya, tapi kakiku terlalu letih mencari jawab ku ulurkan
sebonkah batu mirah sembari bertanya, “Wahai, apakah itu cinta?”
Si
pengemis diam dalam takzim dan menjawab, Cinta adalah penghamba tanpa bertanya,
ketaatan tanpa memerlukan jawaban kau memuja, dan menjadikan dirimu budak
dengan sukarela
Kata-kata
cinta adalah perintah yang tidak terbantah.
Aku
terpekur dan tak henti berpikir
Jika
cinta merupakaan penghambaan, lalu apa arti cinta ILAHI ?
Dia
yang menurnkan hujan, dan lebih agung dari apapun juga
Dia
yang memberikan rezeki kepada oarang paling durjana sekalipun
Dia
yang mencintai makhluk-Nya dan tak memerlukan apapun dari makhluk-Nya
Aku
merasa rugi atas permata yang terbuang percuma
Ini
bukanlah kebijaksanaan; melainkan kedunguan!
Cinta
si pengemis selamanya menjadikan dirinya pengemis yang mengiba, meminta dan
mengharap sejumput kasih
Jika
ini dinamakan cinta!
Aku
muak atas pencarian ini, lalu memutuskan keluar,
Labirin
tua tak lagi mengurungku.
Dan
bau laut seakan memanggilku
Ini
adalah kebebasan yang menarik para pemberani dan seperti cerita lama, aku
berlayar menuju samudera berombak (sendiri)
Angin
kencang membantu lajuku, dan kapalku menuju horison di tapal batas
Mencari
dunia baru untuk ditahlukkan
Di
ujung dek aku berteriak penuh kegembiraan
Walau
kegembiraan itu kadang dibayar oleh rasa hampa di tengah lautan
Oh,
tahun-tahun berselang; musim-musim berganti datang-waktu-penuh-kenangan yang
berkandung suka dan duka.
Namun,
pada suatu hari yang mengejutkan
Badai
datang menenggelamkan apa yang tersisa
Aku
lihat puing-puing yang karam dan onggokan
Sementara
aku hanyut ditemani tonkang yang terombang-ambing, entah mengantarkanku ke mana
Disuatu
tempat, saat aku membuka mata, aku rasai pasir lembut yang harum baunya dan
riak ombak bermain-main di sekujur tubuhku
Apakah
ini tanah orang-oarang mati, ataukah aku masih hidup?
Oh,
betapa hausnya aku, seteguk air akan mengobatiku
Dan,
aku lihat sesosok datang mendekat
Sorot
matanya menatapku lekat lalu menuangkan seteguk air pada bibirku yang
kekeringan sangat
Pandanganku
terasa kabur dan dunia terasa berputar begitu cepat
Aku
berharap dia adalah malaikat tak bersayap yang memberikan jawab
Aku
merasa sebentar lagi maut menjemput, jadi tak ada salahnya bertanya, toh rasa
malu akan terbawa lalu.
Setelah
sekian lama, sekali lagi aku bertanya,”Wahai, apakah itu cinta?”
Dia
termangu, dan hanya tersenyum untuk menenangkan jiwaku yang sekarat, dia
menatapku lembut dan kata-kata bagai menetes dari mulutnya
Kata-kata
serasa merdu yang manisnya teringat selalu , Jawabnya : Cinta bukanlah benda
untuk dimiliki, tetapi tindakan untuk diperjuangkan
Cinta
adalah kebaikan tanpa imbalan
Pernahkah
mentari bertanya padamu atas sinarnya yang terang
Dan
pernahkah pepohonan meminta jawaban atas keteduhannya
Jika
kau memberikan segelas air pada orang asing dan dia tidak behutang padamu
apapun
Itulah
cinta.
Bagaikan
petani, aku menanam benihnya
Lalu
orang lain memakan buahnya, menghilangkan rasa laparnya
Tetapi
ingatlah, cinta adalah pilihan hatimu
Bukan
keterpaksaan dari rasa takut
Sebab
cinta tidak pernah membuatmu merasa kehilangan
Dia
terus membuat hatimu merasa kaya
Namu,
sungguh dunia telah tercerai berai, dan manusia menjadi tersesat oleh makna
cinta
Tergelincir
keserakahan, cinta menjadi memabukkan untuk memiliki, bukanya memberikan
Untuk
menguasai, bukannya mengasihi
Jika
cinta tinggallah nafsu diri belaka
Yang
tersisa hanyalah kerusakan semata
Tidak
peduli sesama; Semuanya mengagungkan diri jua
Orang
menamakannya cinta; tapi itu hanyalah dusta
Hari
itu, aku tahu
Bahwa
perjalanku bukannya berakhir
Tetapi
baru saja dimulai, lalu aku mengatup mata, mulai mendoa untuk satu pilihan kata
di hati
(**********) ! Amin.
S8,
23/05/2012-14;12
Elang Hitam.
Sejumput Cinta di Aula
Apakah boleh aku menulis bulir-bulir angin ini Sri?
hanya beberapa bulir saja !
"Tentu boleh Awang, silahkan !"
Terakhir kali waktu itu hari Sabtu, sama seperti hari ini
hanya tanggal dan tahun yang berbeda, tapi jujur, udaranya sama persis dengan kemarin.
Kau masih ingat Sri?
Memandangmu sedikit lama mungkin tak apalah. Tapi, apakah kau masih mengingatku?
Ah, tak begitu penting menyelaraskan seperti apa aku dan kamu. Setidaknya sekelebat cinta kelas rendah, mampu mengerutkan bibir-bibir kecilku.
Kau masih ingat dengan sekawanan hawa itu? Betul, tak satu diantara mereka mampu menyanjung keperkasaan seekor elang, hmm. Tapi, dari mana kau tahu sayap-sayap yang mulai kering?
Apakah kau menguntil ku?
Sebenarnya, lama tulisan ini tertunda tertuang Sri, tepat saat terakhir kau bilang "Ntar kamu repot sendiri Wang, kasihan si Re, bukankah dia juga mencintaimu?" "mungkin benar apa katamu Sri, tapi aku hanya berbagi kasih sayang, tak lebih" jawabku. "Terserah kau sajalah Wang, wong aku ora kepengen koe keblinger ae yo Wang, kalu apinya membakar dan menghanguskanmu jangan menagis".
Toh,kita hanya memautkan pandangan dan melepaskan yang namanya hasrat, apakah salah jika rasa dan perasaan lain tempat, tapi satu garis lurus dengan cabang yang tak serupa? Kupikir, dewa amor sengaja bermain panah padaku. Tak apalah Sri. Semua sudah jauh, sampai kita tak lagi saling menemukan.
hanya beberapa bulir saja !
"Tentu boleh Awang, silahkan !"
Terakhir kali waktu itu hari Sabtu, sama seperti hari ini
hanya tanggal dan tahun yang berbeda, tapi jujur, udaranya sama persis dengan kemarin.
Kau masih ingat Sri?
Memandangmu sedikit lama mungkin tak apalah. Tapi, apakah kau masih mengingatku?
Ah, tak begitu penting menyelaraskan seperti apa aku dan kamu. Setidaknya sekelebat cinta kelas rendah, mampu mengerutkan bibir-bibir kecilku.
Kau masih ingat dengan sekawanan hawa itu? Betul, tak satu diantara mereka mampu menyanjung keperkasaan seekor elang, hmm. Tapi, dari mana kau tahu sayap-sayap yang mulai kering?
Apakah kau menguntil ku?
Sebenarnya, lama tulisan ini tertunda tertuang Sri, tepat saat terakhir kau bilang "Ntar kamu repot sendiri Wang, kasihan si Re, bukankah dia juga mencintaimu?" "mungkin benar apa katamu Sri, tapi aku hanya berbagi kasih sayang, tak lebih" jawabku. "Terserah kau sajalah Wang, wong aku ora kepengen koe keblinger ae yo Wang, kalu apinya membakar dan menghanguskanmu jangan menagis".
Toh,kita hanya memautkan pandangan dan melepaskan yang namanya hasrat, apakah salah jika rasa dan perasaan lain tempat, tapi satu garis lurus dengan cabang yang tak serupa? Kupikir, dewa amor sengaja bermain panah padaku. Tak apalah Sri. Semua sudah jauh, sampai kita tak lagi saling menemukan.
Dimanakah Tulang Rusuk Itu?
~* Tulang Rusuk dimanakah engkau?
Bismillah...
Saat di dalam hati mulai terbersit tanya,
“tulang rusukku, dimanakah engkau?”
Tapi tertahan erat hanya di hati kecil yang dalam
Hingga perih mulai kurasa
Namun segera kubalut dengan jawabku sendiri
“hanya Allah-lah yang tahu”
Saat tanya selanjutnya pun mulai terurai di otak
“kenapa dia sang permaisuriku tak menemukan rusuk bengkoknya yang hilang??
Begitu sulitkah bagiku menemukanmu??
Kurang ikhtiarkah aku.., kurang berdo’akah..??
Mungkinkah dia tak sadar telah mencuri rusukku??
Atau mungkinkah dia benar-benar tak mau mengembalikan rusuk bengkok itu??
Atauuuu.....,cukup-cukup…
Akupun segera menyimpul tanya-tanya putus asa itu dengan jawab...
“tak usah bersu'udzhon.....
Semua tersebab Allah belum izinkan terjadi”
Dan teringatlah betapa Allah..
telah gariskan sang bidadari teruntukku
Permaisuriku sibuk berbenah diri sepertiku
permaisuriku tengah menantiku
pun mulai mempersiapkan segalanya
untuk menyambut kehadiranku di sisinya”
Akupun tersadar.....kupahami
bahwa Allah juga telah sediakan waktu
untuk pemutaran episode yang ternantikan olehku & bidadariku
Teryakinkan diri...
betapa semua akan terasa indah pada waktunya
Jika Allah izinkan...
kelak semua terjadi dengan hikmat
penuh ridho.....rahmat....barokahNya ....
*SEMANGAT MEMPERBAIKI DIRI, WAHAI UKHTY.....(^_^)
Kamis, 02 Mei 2013
Bulan Tidak Harus Malam.
Apa lagi yang kita bincangkan.
Pada akhirnya ; aku dan kau akan saling melupakan. Bahkan tak lagi mengenal apa dan siapa. Bukankah begitu?
Kiranya
aku menaruh mimpi yang salah, salah untuk digenggam. Setidaknya aku
menang atas apa yang tak bisa kerungkuh, aku memenangkan hatimu agar tak merasakan lagi yang namanya kerinduan. Tapi aku bukan pecundang yang harus berdiam.
Ini kali kau tersenyum dan tak bisa berkata-apa-apa selain "gila" ya, kau pikir ini sudah selesai?
Belum, ini belum berakhir, sampai kita tak lagi bisa mengatakan dunia masih utuh.
Sengaja atau tidak, ego atau kehendak, bukankah itu sama saja?
Setidaknya kau berhasil untuk tidak merindukan ku lagi, karena itu cukup sederhana untuk memulai garis merah sebenarnya.
Jujur, aku mulai kehilangan kosa kata, itu karena aku juga sudah tak merasakan apa-apa lagi.
Sama, rasa itu kita kubur dan tak perlu digali. Bisakah kau tersenyum sekali lagi?
Sekadar
menyapa bathin yang sedikit tersisih dari tempat-tempat sebenarnya.
Jikapun tak tersenyum tak apalah. Sebab, perkenalan, pertemuan,
kerinduan, dan kepergian adalah jalan tipis antara aku, kau, dia dan
mereka. satu, dua, tiga, empat, lima, enam. ya, enam pasang mata kini
hanya berpapasan dengan dua bola mata saja. kita, mereka sudah tak
setaman bias rindang pohon kemarin. Hampir genap setahun usiamu di bulan
kelima berikutnya saat kau tahu aku, ya tahu kau dan kerabat wanitamu.
ah, tulisan ini kiranya tak bearti apa-apa. Hanya mengingatkan kenangan tak sebegitu berharga, bukankah begitu?
Ya,
sekian pasang mata itu tak ada yang sejalan lagi, baik mataku, matanya,
mata kita semua. Bukankah baik sekedar menyapa? Hanya menanyakan, kau
apa kabar? tak perlulah, jawab saja dihatimu. Mungkin kata-kata didunia
ini tak berguna lagi, sebab semua orang sibuk membungkus dan menaruhnya
dikertas, ya tinggal menunggu kata-kata itu tak lagi dipakai. Sampai
semua orang kehilangan dan tak menemukannya. Sayang, meskipun tak
bermakna, aku masih menyimpannya, ya tiga kata yang tak harus dijawab
sampai kapanpun. Bahkan sampai ketika waktu memburu dan memisahkan
cermin dari bayangannya. kata itu masih sama seperti pertama kali kau
temukan, sampai kau lupa, apa kata itu?
Sederhana sekali, kata dimana aku tak lagi tahu bagaimana cara untuk tidak merindukannya.
Tak usah terlalu diambil hati, toh hanya aku. Mereka bilang ia ada karena terbiasa. Sayang itu bukan aku.
Apa perlu emas itu digali?
Sampai
kau tidak menemukan hari, sampai disitu pula aku mengenagnya, sampai
tak ada yang perduli bahwa kata itu memang harus dikebumikan. Kita harap
ini tak perlukan?
Apakah kau mau mendefenisikannya?
Izinkan aku
menaruh mawar merah di genggam tanganmu. Tidak kali ini, tapi nanti,
saat takdir tak menjawab apa-apa untuk ceritaku.
Boleh aku berikan tiga kata itu kembali?
Langganan:
Postingan (Atom)