Rabu, 19 Desember 2012

Lepas



Aku hanya menunggu waktu menyita segala kenagan denganmu tanpa mengusik hati yang merajai sesal selalu. Kubiarkan detik-detik ini sepi, meninggalkan bayang separuh badan. Tak ada yang kurelakan untuk perih, setiap getirnya adalah perjuangan.
Menghadirkanmu terpupus sudah, dihapus jalan sepanjang pagi. Inilah yang kutuai ; dengan segala kesendirian, menepikan laut dan badai. Ini jalan tak beruang ; dengan segala isi kekosongan mata. Ini kali tak bertemali dan lepaslah cadik sunyi kenegeri antah barantah.

Tubuhku dikoyak angin, disapu ranting dan daun kering. Pucuk lama bertua jerami basah dan rontak tiada berdaya ; aku menyerah dititik ini saja tuan. Beban sarat lelah, yang kugenggam bukan barah



Tak ada yang bisa kupejamkan, hanya air kian jatuh tak berkemudi diberanda mata. Sudahkah kau merasakannya juga ?

Senin, 10 Desember 2012

Petik

Pernah aku ingin memetik mawar, sayang ia layu dan kering sebelum ku singgahi.

Pernah juga ingin ku petik bintang, malah senar gitar yang menuainya. "Ah, ini kali tak boleh memetik". Aku pikir memang harus begitu, lalu boleh aku melihatmu?


Seorang kecil bernama mungil, menangis tersedak ditinggal ibu, lalu setelah besar tersenyum memetik senja, apakah ibu juga pernah memetik?

Ya, aku yakin setiap kita pasti memetik benih yang dituai masing-masing. Apa yang kau petik?

Jika hari ini aku menanam bunga dan beberapa waktu kemudian kembang, boleh aku memetiknya?

"Tentu tidak", kata ibu. Kau hanya bersimpati, ia tumbuh dan mekar karena Pencipta, bukan karena tanganmu, ya ia seperti itu melalui penjagaanmu. Begitupun engkau anakku, aku mengandung, menimang dan mengecupmu karena aku simpati, tetapi memetik jerih payahmu bukanlah tujuanku. Ya selagi bunga itu kau rawat dan jaga, maka ia menghadiahkan kembangnya yang ranum, bukan untuk kau petik. Tetapi untuk dinikmati, dirawat dan dipelihara. Jika kau suka pada seorang gadis, jangan kau petik sarinya, karena cinta tidak dipetik, cinta itu simpati anakku. Simapti itu ikut merasakan seperti pagi yang menjaga isinya, seperti malam yang melelapkan isinya, seperti air yang menyejukkan dedaunan, seperti egkau yang merajut benang untuk sebuah keputusan.


Bu! Ada tidak kumbang yang tidak mengisap madu, sementara dahaga mereka adalah madu?

Tidak anakku, setiap kumbang tentu berteman dengan sarinya, itu kodrat namanya. Engkau bukan kumbang, aku bukan bunga, yang ada adalah tuai seperti padi. Sepeti aku menanam benih di sawah, ia tumbuh dan tunduk pada aturan alam sehingga wajib baginya menguning jika kita bersimpati padanya. Apa yang kau makan,sama seperti apa yang aku makan. Hanya terkadang kita tak sadar akan simpati. Makanya banyak diantara kita mengartikan cinta adalah memetik.

 

"Petik tidak sama dengan jemari, bukan gunting atau tanda diantara kata"

Maka simpati kata ibu adalah kasih sayang yang turut hadir bersama, seperti ayah dan ibu yang turut menyayangi sikecil dari benih pernikahan tentunya. Lalu bu! apakah aku juga seperti ibu?

Tentu anaku, itu namanya metamorfosis. Dimana kita yang harus menyesuaikan perubahan, bukan waktu yang harus kita tuntut untuk sesuai dengan kita. Akhlah, etika, moral dan amal adalah pengajaran. Seperti setiap ibu yang mengajarkan senyum pada anak-anaknya, meskipun ia menangis untuk memahaminya. Ibu mengerti, setipa ibu tahu anaknya. Maka setiap keindahan lahir dari seorang gadis; senyum, liriknya, jemarinya, bahkan sampai keriput menutupi lesung pipitnya anakku.

Dan yang meminta bukanlah kumbang, tetapi keadaan yang membuat kau menilainya baik atau buruk.

 

Kalau begitu, boleh aku bertanya lagi bu?

Silahkan anakku!

Jika kita bersimpati seperti kata ibu, apakah cinta itu bu?

Cinta, jika kau berkeinginan membuat perahu, apa akan yang kau lakukan anakku?

Tentu aku akan memilih kayu yang terbaik untuk dasarnya, ukiran dan warna pelagi di dinding-dindingnya, serta dayung yang kuat dan kokoh untuk berlayar. Itu akan aku wujudkan dengan waktu yang cukup lama tentunya bu.

Iya anakku, begitulah cinta, ketika kau jatuh cinta, jadilah seperti kau membuat perahu. Bukan semudah perahu kertas yang akan kau tenggelamkan. Semakin indah perahumu, semakin jauh pengembaraanmu dan semakin luas pula simpatimu terhadap genangan air di dunia ini.

 

Setiap kita dilahirkan dengan air mata, itu tandanya sejak lahir kita telah tenggelam dalam senyum disekitar kita; kami bahagia, terseyum saat kau menangis, dan aku akan tersenyum ketika akan meninggalkanmu, meskipun kau menangis. Petiklah nilai, usaha dan kegigihan bukan hasil atau pemberian. Petik itu seperti ketika kau belajar berjalan, kau jatuh tidak dua atau sepuluh, tetapi lebih. Lihat, sampai akhirnya kau tersenyum saat berlari, walaupun kau mengis ketika terjatuh. Sakit, perih atau luka itu bagian dari perjuangan, maka kau akan memetiknya saat kau mampu terbang dan memulai satu bahtera baru dalam taman dan senjamu.

 

Jika kau ingin memetik, jangan petik bunganya. Tetapi petiklah akarnya juga. Jika kau mencintainya, jangan cintai fisiknya semata. Tetapi cintailah ia apa adanya. Caranya; kau tutup matamu, sebut namanya, maka ia akan hadir, persis seperti aku merindukanmu. Kita sama anakku, hanya aku ibu dan kamu anak; aku bersimpati kepadamu seperti kau bersimpati pada gadismu, dunia ini tak mutlak segaris lurus, hanya kau akan mengetahuinya setelah kau ikut merasakan sebelum maupun sesudahnya.

Apakah kau sudah memetiknya?

Jumat, 07 Desember 2012

Ia

Aku mengizinkan engkau ada di dalam hatiku, tapi mengapa engkau tak mengizinkan aku ada dalam hatimu. Sebab apakah cinta tak menuai rasa pada jalan ini, sedang kita pernah menikmati rindu memburu keduanya. Jika ini kesalahan, siapa diantara kita yang menaburnya ?


Kau memburuku sampai ubun-ubun, hingga tak kau sisakan waktu untuk mengatakan kata-kata ini. Saat ini kita tak lagi menyapa satu sama lainnya, tanpa kabar atau pun pesan ringkas yang berkias hari dengan berbagi senyum. Cintakah ini ? Mana kala berjauhan dan mengasingkan rasa pada selubung sua. Atau kau tak merasakan sama sekali tentang ini ?


Aku harap pesan ini diterbangkan angin padamu, hingga pada suatu waktu kau tahu ini sudah terlambat. Menggamitkan cinta di ujung kepala sama halnya berhenti memikirkanmu, ya, aku berhasil melupakanmu, keberadaan dan kabar yang tak lagi kudengar. Kau puas ? Jika mata adalah jembatan kejujuran, maka aku ingin kau melihatku tanpa keduanya. Sebab, dua sampai tiga tanya akan terusung dan berbijak lagi untuk berirama.


Usutkan semuanya, anggap kita tak pernah saling mengenal. Aku tetap menjadi aku dan kau tetap menjadi asing bagiku. Begitu mudah untuk menyisakan berkas ini, bahkan membuangnya seketika adalah kemauanmu. Jika benar cinta itu buta, bisakah kau menatapku tanpa air mata ?


Tentu kau tahu dengan hal ini dan kau lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Aku tak menafikkan keputusanmu dengan tak mengindahkan bunga. Bunga yang sengaja tumbuh membiak di dasar halaman jiwa. Perih ? Tentu sama halnya dengan yang kau rasakan. Sakit ? Tidak, aku tersenyum. Dengan membalik-balikkan bilah kaca ini aku dapat melihatmu dengan darah.

 

Ini bukan birama yang dapat kau ketuk dengan mudah nadanya, ini hati yang lama kusisihkan hanya untukmu, bukan yang lain. Mengerti ? Kau anggap aku ini apa ? Seenaknya saja kau  jabatkan tangan untuk berpisah. Bukankah rasa itu sama-sama dinikmati ?, lalu mengapa pula harus berdusta ? salah ?


Ini terakhir kalinya pintu beserta celahnya kubuka untukmu, jika tidak, jangan kau sesalkan lagi puan. Sekiranya kau berbalik dan memintaku mengulangnya, itu takkan mengubah apapun ia !


Berbulan-bulan kau sia-siakan waktumu, berjam-jam kau buang pikiranmu hanya untuk menanya bagaimana kabarku. Lalu, setelah aku mengerti dan mengatakan cinta. Kau rubah rumus arimatikamu dengan menyebutkan jumlah tak sepadan. Mengapa harus aku ?


Biar semua tahu, walau langit dan bumi meolak ku, aku tetap mengatakan aku cinta kepadamu. Apakah aku harus mati terlebih dahulu, baru kau mengatakan kejujuranmu ? Tentu ini bukan telenovela atau picisan drama yang dapat kau ton-ton. Ini antara aku dan kamu ia.

 

Tak apalah, kelak jika kau terbangun jangan menangis kekasihku. sebab air tergadang mengerti, ia mengaliri persinggahanmu dan melinangkan sesal paling dangkal. Tutup usiamu saja dipangkuanku, selebihnya nikahlah dengan bintang atau jagad raya sekalian, agar kau tahu; sejauh manapun elang terbang, tetap aku ada dalam khasah ruangmu yang maha dahsyat.


Waktu yang mengizinkan semuanya, pertemuan, perbincangan sampai manakala cerita yang tak pantas dilukis awan. 


Terlambat ia, setelah pecah urat nadi kau jemput aku, jelas tak berguna lagi. Karena kau dan aku yakin, kita akan bersua pada cincin yang berbeda. Lain hal ketika meminta hujan ia.


Tetapi janjimu, penuhi takdirmu dan aku adalah tujuan itu. Kelak ia !





Persinggahan,

Jum'at, 7/12/12, coklat.




Selasa, 04 Desember 2012

Aku Ini Hitam Jalang

Tak ada jalan yang harus sama pada malam, yang menitipkan sendu paling senyap di ujung jemari. Kelak kau juga berkelakar tentang ini, bercerita ringan tentang jeruji dan terali tua tanpa penghuni.

Dosa bukan hal cantik diperbincangkan, melainkan tokoh arwana tanpa dubalang. Jangan tanyakan jembatan atau temali disini, adakalanya kau diam dan tak menyebut apapun sebelum daku bersemburat tajam. 

Sisa tanah di dadaku adalah rumah duka yang senantiasa senyum dekil dan cengigisan. Aubade panjang berhujan nestapa itu biasa, ia memisahkan jarak dalam persinggahan. 

Jalanku tak serasah bulan atau bintang, jalanku jalang. Setiap tanya itu adalah penghianatan dan jawaban adalah hina sedinanya. Beraikan aku pada angin, lalu burai-burai ini terburai begitu saja. 

Gamat, gamit mengucap tancap ulu hati, sebab setiap labuh merupakan asing di telinga; aku mendengar lolongan panjang, kumpulan putih yang sengaja menertawai sedang kabut bias tutup senja.

Jangan ulurkan tangan atau temali lagi, bagianku seribu tahun menyiksa lesap makna tentang dupa dan wewangian melati. Geram hawa terisak dada sedalam luka sembilu di hati.

Ya, kita pernah mengecupnya, tentang bentangan tangga setinggi pelangi. Setelah warna hilang rupa kita terpisah bayang. Baguslah tikam jantung sedemikian jengkal, agar sama tahu hati bukan keadaan dan dua paruh paru menuliskan darah di pergelangan.

Kau simpan saja dendammu, empedu di dasar lama pecah hitam juga. Jangan kau pandangi bulan terlalu lama; keindahannya hanya sajian belaka, salurnya bukan wanita, ia menyalur kesungguhan antara kau dan aku. Kau penuh bunga merta cahaya, sedang aku hampa tiada cahaya, "kau pikir aku mampu membakar lilin?" Benangpun takkan putus menilai pupil di retina ujung kembaraku.

Hambat bilabial, apiko alveolar, apikodental dan rasio pragmatikal asimilasi duka ini bertaruh badai, kau saja yang tidak tahu. Pasukan santri merajang rukiah kepala sampai jalan putih mengalahkan simpang antara kita.

Coret, ya. Setiap koma dari tanda sepi ini bertitik seru untuk tanda seru yang menepikan petik di ujung sakral ritualku. 


Tuntaskan lagi amor di ujung awan tipis yang bergelayut tentang manis rupa pada dari aku yang tak berpadan ria. Sintal itu kamu ! Maka tak kunikmati jemarimu. Kau tahu jarak ini bodoh, aku tahu tangan ini bebal, hanya menjabatmu butuh ribuan jelmaan siluman agar sampai.

"aku ini hitam jalang"