sabtu, 10 oktober 2009-tetanda ; _aku
Dari seribu rangkaian bintang
di ufuk timur ku tutup mata, kupalingkan segundukan naskah cinta yang belum
siap akhirnya, pada ratusan drama karmapala. Jauh sebelum pagi menenangkan, aku
terpaku menjemput sederetan warna pada keresahanmu, dia nafas yang ditiupkan angin
di sudut waktuku, memenjarakan aku sendiri di sujud terakhirku, menjelang pagi
menutup cerita dimalam hari, ketika suara kukuruyuk ayam bising bersahutan, aku
tengah rebah lama.
Sebelum jauh diakhirkan hitam, aku
menghitung senja setelah kepergian bulan disekian pengenanganmu. Kau tahu tidak
?
jutaan kalimatku buntu menyebut
namamu, puluhan abzad di jantunku berhenti berdedak menulis kisahmu. Ah, aku
takkan begitu saja pasrah menyusun stanza di bait kusam wajah cantikmu, aku
mulai menyadari, jauh sebelum mereka tahu, Tuhan menggariskan pertemuan untuku
padamu, sampai akhirnya cerita semusimku gugur hancur tanpa nama dari sejuta malam nirmala.
Tak seperti biasa, mata dari matamu
menjelma nyata dihadapku, menya’irkan nyanyian merdu, dingin, menyejukkan ku
lama sekali.
Andai saja dia tahu, hari-hariku
terang mengingatnya, tak satu darahpun yang bergejolak mengenalmu, aku tenang, begitu
hangat mendekap bayang-bayangmu. Sepertinya aku mulai kaku sekali, sampai huruf
dari kalimat di hatiku bingung mengeja sambungan ceritaku. Jujur aku tak begitu
mahir merajuk benang merah untukmu, hanya karna jantunku yang keras bersikuku
menyebut namamu.
Sekian jam lalu aku terhenti melafazkan
sya’ir namamu, sebab aku tak tahu harus merangakai apa lagi untukmu, seketika
bisu isyarat bibirku kelu. Biarlah diantara mereka linglung menafsiakan aku di
pojok jendela tua tak bertrali besi itu.
Tak lebih dari ratusan kali kufikirkan, aku
ada ditiap hitungan nafasmu, hanya saja kau tak begitu menyadarinya, aku ada,
selalu ada untukmu, bukan hanya sa’at ini, tapi selamanya, sampai pisah nanti.
Aku tak menakutkan apapun kali ini’ karna yang kutahu aku mencitaimu utuh dari
tujuh lapis diding di hatiku.
Jujur aku bukan siapa-siapa
untukmu, hanya seutas nama yang bisa kau garis kapanpun kau mau.
Ini bukan romeo, bukan para pencari
cinta yang menikam jantungmu, aku hadir karna aku butuh luka di dada kering
sejenak saja, dan tak lebih.
Tak ada yang tahu kapan skenario dusta
ini akan putus habis jadwalnya. Dan sampai sa’at ini saja senjapun begitu terik
untuk kita nikmati bersama, Semestinya tak begitu sulit seperti ini jadinya,
karna tak satupun cahaya yang mampu menghidupkanku.
Sesa’at kemudian kau datang
mengisi hari-hari ku, siang, malam, sehari, seminggu, sebulan dan tak teras
lebih aku bersamamu, bersama setengah hati yang terkubur lama pada kebenaran
yang sesungguhnya, aku telah jatuh lama
sekali dalam tatapan pertama kujumpai drimu. Sampai akhirnya aku menyerah pada kalimat
cinta yang membabi buta aku pada sekian hawa diluar sana.
Ma’af jika ini kejujuran, dan aku
tak mengenal apa-apa selain tahajud aku sujud syukur, hatiku telah dibukakan
olehmu.
Mungkin ini terasa asing buatmu,
mengenali frase dari dalam air mataku,tergambar rasa yang cukup sulit kau
sentuh maknanya.
semua itu karna apa ?, hanya
karna aku cukup lemah untuk kau tahlukkan.
Hari-hari berikutnya, aku tengah
kandas menatap tutur lembut tingkahmu, kesadaran kembali menyapaku, dan aku tahu,
kau tak pernah tercipta untukku. Hanya langit ditempatku melukis indah gambarmu
lama sekali, sangat lama, dan cukup sakit untuk kumengerti.
Sepertinya, Aku tak begitu lama lagi
menahan amarah dilautan lepas sana, Karna cukup bagiku putih diatas sana ditutup
malam, Karna cemburu mu. Jauh sebelum dalam ini kisah, tak ada yang tahu kalau
dikau kuraut tajam pada layangan yangkan ku terbangkan jauh, putus pada
bianglala diatas sana. Entah berapa nama lagi yang mati untuk mu gadisku, tak
seribu, tapi lebih dan satu diantaranya adalah ibu yang ku banggakan,telah lama
dindaku ! itu berulang pada tidur ku,
menyambung-nyambung tangis dari perihnya pertemuan untuk nya.
Tak lama selepas bersamaku, kala
senyum meyalin pada lilin-lilinku ; padam,hitam dan setegahnya kelam. Jujur ini
kali air dimuara ku telah kering dan kaupun hilang di paruh baya ku kelak.
Ku harap Tuhan mendengar ejaan
bathinku yang tengah kelu menenti kehadiran seorang sinta yang tiada binal
hatinya, berkecukupan mengecup hidup penuh makna, ku harap. (kuharap itu engkau)
Setiap kali ku papah biakkan luka yang
melahirkan dusta, agar kelak ada yang mengerti, kalau-kalau rasa ku telah mati
sesaat menyentuh tangan dibawah tanganmu. Kali berikutnya kau telah jauh, melukiskan
tempat di hatiku dan kupupus bayang-bayang mu. Sampai pada waktunya aku
menjemput bintang pada satu harapan, kelak ku bangun surga pada mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar